SEHARI BERSAMA LELAH


Catatan kronologi hikmah dari sepercik kisah hidup, secuil namun berarti.

Pagi ini begitu cerah, mentari dengan kehangatannya menyapa diawal pagi menyambut penuh cinta siapapun yang merindukan karunia-Nya, berlomba-lomba mencari sebutir nafas dari hidup yang semakin berwarna, mulai dari senang, sulit, sempit, mudah, hingga berat dan pelik membutuhkan pensikapan yang bijak dari setiap episode hidup yang harus dilalui. Pagi ini aku melangkahkan kaki menuju MUI Kota Samarinda dengan penuh harap, namun entah sedikit cemas, Majelis Ulama Indonesia tepatnya, kantor tempat dimana aku biasa bekerja membantu pak kiayi Zaini Na’im sebagai ketua Umumnya melaksanakan tugas-tugasnya dalam hal kesekretariatan dari mengetik dan mengarsipkan surat, membayar rekening, menerima tamu, mendengarkan konsultasi-konsultasi masyarakat yang berisi keluhan, kesalan, tangisan, perceraian, warisan, ikrar syahadat, hingga aktifitas-aktifitas keummatan lainnya, banyak pengalaman yang menjadi pelajaran berarti sejak Allah takdirkan kaki ini bersama MUI, sesekali aku merenung, berfikir, mencoba mengeja setiap titian hidup yang aku lalui, muncul pertanyaan mengapa Allah memilihkan MUI sebagai tempatku beraktifitas?, kini barulah kumengerti ternyata banyak cara Allah memberikan pelajaran pada hamba-Nya, banyak cara Allah mendidik hamba-Nya dengan tarbiyah hidup yang didapat dari manapun ia berada, bahkan dengan tanpa disadarinya, dan kini ada nuansa baru dari tarbiyah yang selama ini kudapat, disinilah aku belajar dari kehidupan seorang Ulama beserta warna-warninya, dari setiap taushiyah dan pelajarannya, belajar mengerti bahwa hidup ini bukanlah tujuan akhir, belajar mengerti bahwa permasalahan ummat ternyata begitu bermacam jenisnya, belajar memahami bahwa ‘sedikit memang orang yang ingin mengurus ummat’ dengan problematika dalam keluh kesahnya, dalam setiap tetes air matanya, dalam setiap deraan masalah yang mau tidak mau terlanjur mereka lakukan, namun mereka ingin sekali bertaubat. Ya itulah hidup, penuh dengan dugaan yang terlampau sulit untuk ditelusuri hikmahnya kalau tidak dengan hidayah-Nya. Allahumma innanasalukal hudaa..

Sesampai dikantor setelah malalui jalan raya dengan debu yang mulai mengental, akupun terkejut melihat Ketua Dewan Penasehat MUI Kota Samarinda sudah ada di tempat, dan kali ini aku kalah cepat masuk kantor. Namanya KH. Bahrani Selamat, disenjanya usia tidak menyurutkannya untuk terus lantang meneriakkan kebenaran dalam khutbah-khutbah dan ceramah-ceramahnya, bahkan ia terpilih menjadi ketua umum Dewan Masjid Indonesia untuk wilayah Kalimantan Timur. Bagiku ia seorang ayah, seorang syekh, seorang teman, seorang sahabat, seorang kakek, seorang yang begitu mengerti akan seluk beluk hidup di senjanya usia, selalu dihitungnya setiap hari yang dilaluinya sampai ia sangat faham berapa tahun usianya sampai detik sekarang, berapa bulan dan berapa hari, hingga sebegitu detailnya penghargaan beliau terhadap sisa usia. 71 Tahun 2 bulan kurang usianya kini, namun dengan senyum ramah disepanjang harinya menjadikan kakek dengan 6 anak dan 15 cucu itu terlihat semakin segar saja, senyuman khas ala Buya Hamka dengan peci hitam lancip dikepala menjadikannya seorang tua yang masih muda apalagi humor-humor ringan ala banjar amuntainya menjadikannya seorang yang ‘berkarakter’. Dari beliaulah aku belajar banyak tentang kehidupan, belajar banyak tentang seni, nasehat-nasehat pernikahan yang selalu ditujukannya padaku seolah mengisyaratkan sesuatu, dari beliaulah aku mengenal sosok Ulama Buya Hamka dengan karya-karya seninya. Suatu hari beliau berujar ’persoalah hidup itu memang akan selalu ada, namun kita akan bisa menyelesaikannya dengan dua kata yakni, SKILL and ART’ inilah yang diajarkannya padaku selain hikmah-hikmah dalam Al quran dan hadits, kalau ingin masalah hidup dilalui maka dengan mempunyai keterampilan dan cita rasa seni insya ALLAH kita akan bisa mengatasinya, dengan SKILL atau kemampuan terbuka pintu keluar dari sekian rentetan masalah, karena kita punya kuncinya, dengan SENI kita mampu menjadikannya lebih ber ‘garam’ dan ber ‘warna’ indah. Tambahnya pula. Lagi-lagi aku dapat pelajaran, terima kasih ya Allah. Bersabda nabi SAW : “Tidakkah kalian ingin kuberitahu ttg orang yg paling baik dari kalian? Maka jawab para sahabat : Mau wahai rasuluLLAH SAW. Kata nabi SAW : Org yg paling baik dari kalian ialah orang yg jika orang2 lain melihatnya akan mengingatkan pd ALLAH.” (HR Ibnu Majah, kitab az-Zuhd, bab Man la Yu’bihi lahu, juz-II hal.1379)

Kebetulan kerjaan hari ini sedikit lebih banyak, setelah obrolan santai namun berfaedah, akupun mulai melaksanakan kewajibanku untuk mengerjakan tugas-tugas rutinku, diantaranya adalah bayar rekening telepon, kupacu sepeda motorku keluar kantor, kemudian mengantri agak panjang dan kembali lagi ke kantor untuk melaksanakan tugas-tugas lainnya,mengetik surat, melayani tamu yang berkunjung, dan lainsebagainya. Karena hanya mitra Pemerintah Kota, MUI Kota Samarinda aktif hanya dari pukul 08.00 pagi hingga pukul 12.00 siang, menjadikanku lebih tenang karena bisa mengisi waktu disiang hari dengan aktifitas lainnya. Hingga menuju tengah hari dengan badan yang sudah agak kelelahan apalagi setelah waktu sholat dzuhur ada pekerjaan lain yang menantiku diluar sana.

Setelah sholat Dzuhur, saat siang menyapa, saat harus tutup kantor, setelah pak kiayi Zaini Na’im kembali pulang dengan mobil avanzanya dan pak Bahrani Selamat mengikutinya, setelah kututup rapat pintu-pintu kantor, sesaat kemudian datang seorang perwira Poltabes mengantarkan surat, ternyata surat undangan, padahal pak kiayi baru saja keluar pulang, seketika langsung kuhubungi beliau dengan telepon kantor, karena acaranya besok pagi dan itu adalah acara yang sifatnya protokoler dan penting maka aku diminta untuk mengantarkan surat itu langsung ke rumah beliau di Citra Griya. Karena harus mengajar siang di SDIT Cordova maka aku katakan kalau akan kuantar sore saja. Dengan badan yang sudah kelelahan akhirnya kupacu kembali motor setiaku menuju sekolah untuk melaksanakan kewajibanku yang lain, mengajar. Siang mulai menunjukkan watak aslinya, karena memang begitulah seharusnya, terik panas membakar kumpulan debu yang menggantikan peran angin menghembuskan dirinya, awan tidak mau diajak kompromi agar berbaik hati menutupi mentari agar tidak semakin terbakar ari-ari kulit dikepala, kututup rapat kaca helemku agar tidak semakin berasa debu yang selalu menghiasi Kota Samarinda bila sudah panasnya. Namun hari harus dilalui, waktu terus berputar, nasib tak kan berubah kalau kita tak mau merubahnya, karena proseslah yang akan menuntun kita pada apa jadinya kita nanti meski lelah sudah sangat merasuki.

Akhirnya aku sampai juga di Sekolah, SDIT Cordova adalah wadah penting dari sejarah hidup, disinilah aku belajar memaknai kesabaran, keikhlasan dan pengorbanan meskipun berat. Salah seorang ustadz yang sangat teguh sikapnya, yang menjadi panutan bagiku pernah mengatakan “disekolah inilah insyaAllah akan lahir pemimpin-pemimpin baru, disekolah inilah InsyaAllah akan lahir para pejuang-pejuang dakwah”. Mendengar ucapan beliau menjadikanku semakin terbakar semangat untuk terus memberikan yang terbaik dari apapun yang aku punya minimal selama takdir menuntunku untuk tetap berada disekolah ini, meski lemah kaki melangkah, meski haus dahaga menerpa. Ada dua kelas dengan mata pelajaran Bahasa Inggris yang harus aku masuki siang ini, kelas IV IBNU SINA dan kelas IV IBNU KHOLDUN. Anak-anak masih berhamburan di dalam kelas setelah bel masuk dibunyikan, pelajaranpun dimulai, sekuat mungkin aku fokus terhadap bahan ajarku dengan buku pegangan dan silabus ditangan. Salah satu yang membuatku senang mengajar anak-anak adalah kepolosan mereka yang tidak dibuat-buat, tidak ada sandiwara, tidak ada kepura-puraan, semua beralun dengan apa adanya mereka, ketika harus tertawa, mereka tertawa dengan lepas, ketika harus menangis, mereka menangis dengan lepas, ketika harus marah, mereka marah dengan lepas, berlari, berkelahi, namun sejenak kemudian suasana perdamaian dan keakrabanpun kembali terjalin. Sapaan khas mereka memanggilku dan semua guru disini dengan sebutan “ustadz” menambah beban dihati, hawatir tidak sesuai dengan artinya, namun karena makna ustadz disini bukanlah sebagaimana makna Ulama dengan keilmuannya yang kredibel, namun sebagaimana guru-guru lain disekolah lainnya, ustadz sama maknanya dengan “pak guru” atau “bu guru” disekolah lain, tidak lebih, ini hanya sebagai tarbiyah atau pendidikan bagi anak didik agar menjadikan sekolah sebagai taman menimba ilmu agama di bidang apa saja selalu ada agama, entah di Matematika, di Fisika, di Bahasa inggris dan lainnya selalu ada unsur-unsur agamanya dan hal itu tidak boleh dipisahkan. Bel pertanda jam usai telah di nyalakan, nafas terus naik turun meresapi setiap iringan langkah hidup, berjalan dengan irama lelah disetiap langkahnya.

Dua kelas sudah aku masuki, sekarang saatnya kembali pulang kerumah, kulihat waktu menunjukkan pukul 15.30, sebentar lagi azan waktu sholat ashar akan dilantunkan, dan azan itupun benar-benar terlantun dari salah seorang anak murid di SDIT Cordova kelas V, di Masjid Al hamra, mengingat nama masjidnya, mengingatkanku pada sebuah Masjid yang ada di sebuah Kota di puncak peradaban Islam di Cordoba, Spanyol saat puncak kegemilangan Islam tumbuh disana. Dan kini insyaAllah kami ingin membangun bangunan yang roboh itu disini dari mendidik anak-anak menjadi insan yang memiliki kekuatan intelektual yang baik dan kekuatan spritual yang mumpuni. Kuambil air wudhu, kuusap wajah yang sudah tidak berbentuk ini karena kelelahan yang begitu sangat sejak dari kantor MUI tadi hingga berteriak, berceloteh dihadapan para murid-muridku, kuletakkan dahi ini dengan sholat dua rakaat qobliyah ashar, kucium lantai masjid al Hamra dengan takjub di empat rakaat sholat ashar, kuucap salam diakhir rakaatnya setelah sujud panjang diakhir sholat. Mentaripun perlahan mulai bergerak lambat beranjak keperaduan, siang berganti sorepun akan segera menjelang. Diantara dzikir anak-anak, doa-doa yang dilantunkan hingga doa berangkat pulang menjadikan suasana nyaman menghinggapi seluruh jamaah sholat mengakhiri hari belajarnya.

Akhirnya pulang juga, aku ingin cepat pulang, merebahkan tubuh yang sudah kelelahan ini, bersama kipas angin tentunya menjadi kenyamanan tersendiri. Sesampainya di rumah kulepaskan tasku dan langsung kurebahkan tubuh ini ke tempat tidur sambil kunyalakan kipas angin. Sesaat kemudian handphone ku berbunyi, dan kulihat dari nomor yang tidak aku kenal. Kuangkat handphone dengan hati bertanya siapa yang menghubungi disaat aku ingin istirahat. “Assalaamu’alaikum, akh Arros, sebentar lagi acara akan dimulai, teman-teman sudah hampir kumpul semua, ini dari ana akh, ikhwan Fakultas Kedokteran Unmul”. Astaghfirullahaladzim.. aku lupa kalau hari ini teman-teman Fakultas kedokteran mengundangku hadir dalam acara diskusi pengurus KMM As-Syifa, mengapa aku bisa lupa ya... sambil kujawab dengan tenang, akupun mengakhiri pembicaraan dengan menyanggupi untuk datang, bagaimana tidak, sedang aku telah berjanji jauh-jauh hari untuk hadir dalam undangan tersebut. Astaghfirullahaladzim.., akupun belum mempersiapkan bahan diskusinya sedikitpun, karena aku diundang untuk menjadi salah satu narasumber diskusi maka dengan janji yang sudah aku buat dan tidak ada halangan syar’i untuk tidak berangkat, kuhujamkan kembali niat untuk merelakan dan meninggalkan si ‘istirahat’. memang kuakui belakangan ini aktifitasku sangat padat-padatnya, baik di MUI, SDIT, LPDI dan Organisasi yang lainnya menuntut untukku terlibat pula, akhirnya dengan cepat aku nyalakan notebook, berharap ada sisa-sisa bahan materi yang bisa dijadikan bahan diskusi bersama teman-teman pengurus KMM As-Syifa dengan sedikitnya sisa waktu yang ada, hanya 5 menit. Seketika rasa lelah memang harus dihilangkan, melupakan kipas angin yang sedang berputar kencang, kubuka tas gendongku dan kudapat surat undangannya, kulihat kembali dengan cermat, persoalan apa yang akan diangkat oleh teman-teman KMM As Syifa dalam diskusi kali ini, dalam surat undangannya tercantum beberapa kisi-kisi yang ingin dijadikan bahan diskusi,

Tertulis dengan jelas disana: Semangat dakwah yang kian menurun, Ukhwah yang kurang tertata dengan baik, malas dalam menuntut ilmu, dan kefuturan.

Akhirnya bergegas kupakai kembali tasku, kuambil kunci motorku, kupacu kembali motorku yang sudah terlihat kelelahan pula, menuju musholla Bahrul Ulum, kebetulan acaranya disana. Diatas kendaraan kujadikan waktu berharga menangkap ide dan gagasan, sembari terus memohon kepada Allah agar supaya membimbingku sebagai manusia yang banyak kekurangan dan keterbatasan, hanya Allah saja yang menjadi fokus utama mencari inspirasi materi diskusi. Akhirnya sampai juga dan diskusipun berjalan, yang sebelumnya dibuka oleh moderator, setelah pemaparan sedikit akhirnya diskusipun berjalan, salah seorang akhwat Fakultas Kedokteran melemparkan sebuah wacana yang didalamnya memuat beberapa pertanyaan, tantang kondisi pengurus, terutama ukhwah yang semakin hari semakin luntur, rasa persaudaraan yang kurang kuat menjadikan pengurus merasa sendiri dalam berdakwah apalagi dengan melebarnya sayap dakwah kepada wajihah ammah atau organisasi non LDK. Akupun mencoba turut memberikan komentar alakadarnya bahwa selama ada Allah jangan pernah kita merasa sendiri, membutuhkan kawan disamping dalam berjuang adalah manusiawi, namun bukan berarti saat orang lain meninggalkan dakwah ini, lalu kitapun ikut mundur kebelakang. Dilain hal, ada seorang ikhwan yang memberikan pandangannya tentang tugas di KMM As Syifa, bahwa sebahagian mereka tidak PD dengan peran sebagai da’i, karena basic keilmuan yang kurang. Menurutku, bukanlah karena kita manusia yang bodoh lantas kita meninggalkan jalan dakwah ini, karena memang selama kita bernama manusia selalu terdapat banyak kealpaan dan ketidaksempurnaan. Sementara dakwah tidak mesti lewat mulut saja, dengan tulisanpun bisa berdakwah, dengan teladan dalam perbuatan pun bisa berdakwah, dengan menjadi seksi konsumsi pun, kita berharap Allah mengkaruniakan kita pahala orang-orang yang berdakwah karena kita berada dalam aktifitas dakwah. Dengan panjang lebar diskusi berjalan, dari keengganan pengurus yang sudah mulai mewabah dalam menuntut ilmu, alasan-alasan klasik untuk tidak hadir dalam majelis-majelis kajian, hingga pada hikmah dibalik kefuturan. Akhirnya diskusipun ditutup oleh moderator dengan beberapa kesimpulan yang dipetik dengan komitmen bersama untuk melakukan tugas-tugas perbaikan dalam tubuh organisasi kedepan kearah yang lebih baik. Ya itulah episode hidup yang harus aku lalui, bersama teman-teman saling berbagi, dalam dakwah, dalam cinta karena Allah. Merealisasikan ukhwah tidaklah semudah melafalkan maknanya, ia butuh pengorbanan dan rasa saling mengerti diantaranya, Ustadz Nurhuda pernah mengatakan “akhi,.. saya punya teman yang tidak pernah tertawa terbahak-bahak kepada saya, tersenyumpun hanya senyum kecil, hanya saja saya tahu kalau dia begitu mencintai saya” , ucap beliau dalam salah satu taushiyahnya tentang ukhwah. Karena ukhwah bukan dibibir saja, namun perbuatan yang nyata yang lahir dari jiwa yang yang sadar berpondasikan iman dan aqidah yang kokoh. Akhirnya, mentaripun benar-benar beranjak keperaduan, ditengah kekelahan mencoba menikmati angin sore diatas motor dibawah rimbun pohon-pohon Kampus Unmul. Kuingat kembali kelalaianku dengan peristiwa hari ini, lupa!, ya itulah manusia, tempatnya salah dan lupa, namun justru lupa itu adalah anugrah dari Sang Pencipta lupa.

Ditengah menikmati udara sore, akupun teringat dengan amanahku mengantar surat dari Poltabes untuk pak kiayi Zaini Nai’im, kupercepat laju motor berharap sampai di Citra Griya sebelum maghrib. Kulihat bensin motor sedang kritis, aku harus mampir ke tempat pengisian bensin terlebih dahulu. ditengah perjalanan menuju tempat pengisian bensin, salah seorang kawan yang bertugas menyampaikan dakwah di Kelurahan Jawa menelepon, ku stop laju motor untuk berhenti sejenak.

Assalaamu’alaikum. Akhi, sore ini ada penggalangan masa untuk sosialisasi ba’da isya, antum diminta yang memberikan sosialisasi, kebetulan malam ini untuk warga kelurahan Jawa. Bisa akh ya...?

Akupun tidak bisa merespon banyak, karena malam ini ada jadwal pengajian rutin yang harus aku ikuti dan tidak bisa ditinggal karena pentingnya pengajian tersebut, minimal bagiku yang ingin belajar dan belajar. Aku meminta maaf atas ketidak sanggupanku memenuhi permintaannya, kuusulkan dia saja yang mensosialisasikan agenda dakwah tersebut, dengan beberapa pertimbangan diapun menyetujuinya, karena filenya ada padaku maka dia memintaku untuk mengantarkan filenya ke rumahnya. Setelah selesai mengisi bensin, segera aku menuju rumah kawanku mengantarkan filenya, kepercepat laju motorku karena aku ada janji dengan ketua MUI Samarinda untuk mengantarkan undangan dari Poltabes. Ditengah laju motor disore hari dengan hiasan alam yang begitu indah dan menakjubkan ditambah semburat kekuning-kuningan senja disore hari menjadikan hati ini semakin tenang, kutarik napas ini dalam-dalam diatas motor berkawan lelah, kuningnya senja hingga sedikit berwarna kemerah-merahan menandakan waktu maghrib akan segera tiba, dan benar azan maghrib pun berkumandang, kuayunkan langkahku memarkir motor disebuah musholla kecil yang bernama Raudhatul Jannah, melihat namanya saja sudah membuat hati menjadi tambah tenang, Taman Syurga, luar biasa, musholla kecil nan sederhana, menjadi tempat persinggahan yang sangat nikmat ditengah kelelahan aktifitas. Lagi-lagi kusiram wajah ini dengan air wudhu, dingin dan sejuk sekali. Kuarungi waktu maghrib dengan lantunan ayat demi ayat yang mengalir mesra disekujur tubuh, menambah kekuatan diantara kelemahan manusia, apalagi kulihat jamaah sholat maghribnya sedikit lebih banyak. Pantas saja Rasul dan para sahabat menjadikan sholat sebagai saat-saat paling nikmat untuk istirahat.

Wahai jiwa,
Kalau tidak ingin sholat
Lalu buat apa hidup?
Bukankan untuk ini kita ada


Setelah selesai sholat maghrib, tujuanpun langsung kuarah menuju kelurahan Jawa, mengantar file kepada seorang kawan disana. Kudapati ia disana, dengan wajah senyum khas lembutnya didalam kesibukannya mempersiapkan acara, tak kuasa hati ini selalu ingin berdoa untuknya..ditengah kesibukannya.. ya Allah... jaga diriku dan sahabatku ini dalam keistiqomahan, beri ia kekuatan untuk selalu bertahan, jangan kau biarkan ia terhempas dalam kubangan arus dunia yang semakin indah dan memikat ini.. lirih hatiku. Setelah kuberikan filenya serta jabat tangan tanda akhir jumpa, kulanjutkan perjalanan menuju rumah Ketua MUI di Citra griya, ditengah perjalanan, setelah melalui jalan berkelok dan gelap aku melihat pemandangan yang sangat luar biasa, menakjubkan dan indah sekali, menkajubkan dari dua sisi. Jalan Slamet Riyadi tepatnya, disisi kanan jalan kulihat Masjid Islamic Centre berdiri dengan megah, elok dan indahnya, cahaya kekuning-kuningan yang bersinar disekelilingnya berjodoh dengan sungai Mahakam disisinya, menambah anggun pemandangan Masjid Islamic Centre. Diatas motorku muncul keinginan untuk mampir sholat isya disana sepulang mengantar surat. Dalam renungan, sesekali teringat kemudian setelah melihat realita masjid kebanyakan, pun tak lepas dengan masjid yang satu ini, mengapa masjid yang sebegitu megah dan menghabiskan dana yang sebegitu besar dan tak tahu dari mana sumbernya itu dihadiri dengan sedikit jamaah, hampir tidak pernah melebihi satu shof sholat jamaah, kecuali sholat jumat, apakah karena besarnya Masjid? Atau karena memang ummat telah melupakan pusat peradabannya?, yang sering menjadi pemandangan ketika singgah di Masjid tersebut bukanlah orang-orang yang begitu khusu’ dalam sholat-sholat malamnya, khusu’ dalam dzikir pagi petangnya, atau mereka yang suka memakmurkan masjid dengan ibadah wajib dan sunnah lainnya, namun orang-orang yang datang ke masjid tersebut hanya untuk mengabadikan dirinya dalam photo dan beramai-ramai beserta teman-temannya bercanda, bercengkrama, berkeliling hanya untuk melihat-lihat, hanya dijadikan tempat istirahat dari perjalanan jauh, apabilagi bila sore hari tiba menjelang malam, bahkan tak jarang dijadikan tempat pasangan muda-mudi yang bukan muhrim menikmati pemandangan sekitar. Sedih hati ini... Dan yang lebih menjadikan perasaan ini semakin miris adalah pemandangan disisi kiri jalan Slamet Riyadi dari arah jalan P. Antasari, di sepanjang tepian Sungai Mahakam, sangat dekat dengan Masjid Islamic Centre, bahkan bisa dilihat dari jendela Masjid yang sangat besar itu sekalipun. Dengan remang-remangnya cahaya disana duduk pasangan muda-mudi lainnya, berkholwat, menikmati indah Sungai Mahakam dengan jagung dan snack ditangan, apalagi saat waktu menjelang larut malam begini, dengan aktifitasnya yang sangat beragam ditambah hilangnya rasa malu dan sangat tidak layak untuk dipublikasikan. Naudzubillahim zaalik. Lalu dimana pengurus Masjid?, kemana pada da’i?, kemana orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk mencegahnya? Inilah sekelumit potret Kotaku, Samarinda, ibukota provinsi Kalimantan Timur dengan segudang ‘PR’ bagi para penyeru kebaikan dan para penguasa tentunya. Belum lagi tempat-tempat hiburan malam lainnya, berkedok hiburan karoke keluarga namun sarat akan nafsu, menjadi tempat aman bagi mereka yang ingin menghalalkan yang diharamkan oleh Tuhannya, diskotik hingga hotel-hotel yang menyediakan ladang maksiyat. Dan lain sebagainya. Andai Rasulullah ada disini, ya.. saat ini.. orang yang pertama kali dimarahi adalah mungkin orang-orang seperti kita semua, tahu namun tak bisa berbuat apa-apa, para pejabat yang sebenarnya bisa berbuat banyak, namun dikalahkan oleh kepentingan yang lainnya. Namun, setelah kulihat kaki ini, ternyata aku masih didunia, menginjaknya untuk terus melakukan perjalanan panjang hingga hari penentuan nantinya, inilah dunia tempat kita didera, ditempa, dipaksa mengalami sedemikian lembaran sejarah hidup yang tidak melulu sesempurna dan seideal yang kita inginkan pada umumnya. Andai semua orang baik, maka apa arti syurga jadinya, andai semua orang taat, maka apa arti adanya neraka. Bukan masalah yang sebenarnya jadi masalah, namun sikap dan pensikapan kita yang kadang jadi masalah. Maka selama dunia namanya, disana selalu ada warna-warninya.

Akhirnya sampai juga, kudapati pak Kiayi Zaini Na’im setelah kuketuk pintu rumahnya dengan salam, dengan songkoh putih khasnya, senyum ramah ala Ummar bin khattab, mengucapkan terimakasih untuk suratnya. Sepertinya azan isya telah berkumandang, aku pamit untuk kembali pulang, tapi sepertinya aku tidak sempat pulang kerumah karena satu acara lagi sedang menungguku, pengajian.. ya.. pengajian. Keinginan untuk sholat isya di Masjid Islamic Centre urung kulakukan karena azan isya mengantarkan aku dan motorku menuju Masjid Darun Nikmah, sebuah masjid indah yang bertetangga satu pagar dengan sungai Mahakam, persis di tepian sungai Mahakam. Kuparkir kembali motor kesayanganku, kuperbaharui wudhu ku meski aku yakin wudhuku belum batal, di Masjid yang besar ini meski kalah besar dengan Masjid Islamic Centre, masjid Darun Nikmah namanya, ada sepenggal kisahku disekian tahun silam ditempat ini, saat itu sehabis sholat kulihat sandalku hilang, entah kemana perginya, mungkin ada orang yang lebih membutuhkan sandal tersebut. Keterangan dari pengurus masjid sih katanya ada segerombolan anak remaja yang kemungkinan menukar sandalku dengan berpura-pura seolah sandalnya.. ah .. entahlah, mengapa sampai Masjidpun tidak bisa menjadi wadah yang aman untuk sekedar meninggalkan sandal diluar untuk kemudian sholat berjamaah. Apakah ini potret umat islam di Indonesia? Ah.. entahlah.. pelajarannya adalah supaya aku bisa lebih berhati-hati, tidak ingin masuk lubang dua kali, akhirnya kutitip ia di tempat penitipan sandal, dan kukeluarkan sekian rupiah untuk berinfaq. Mungkin ini hikmah lainnya, Allah menyuruhku untuk lebih banyak berinfaq, kalau bukan karena pernah kehilangan mungkin aku tidak mau berinfaq. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum kecil mengingat beberapa pengalaman di sekian tahun silam hingga saat ini. Hembusan angin sungai Mahakam menghiasi dingin malam dalam lantunan merdu ayat demi ayat yang dibacakan sang imam Masjid, ia membacakan surah Al-A’laa, surah ke 87 dalam Al Qur’an. Dibaca dengan tartil, perlahan penuh penghayatan hingga sampai dengan ayat ke 14 menjadikanku semakin nyaman sholat ditempat ini. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), Dan Dia ingat nama Tuhannya, lalu Dia sembahyang, Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”.

Setelah selesai sholat isya dengan sunnah ba’diyah sebelumnya, kuarah pandang kesungai Mahakam, kutarik nafas panjang dan kutatap rumah ustadzku meski tak kulihat untuk kutuju kesana. Kupacu kembali motorku, ya.. motorku yang setia menemaniku kemanapun aku pergi hingga aku merasa kasihan padanya, terkadang ia mulai batuk, demam dan pusing. Panas ia kepanasan, hujan ia kehujanan, sampai tak tega aku melihatnya. Tapi ia tidak pernah berkeluh kesah, aku terkadang yang berkeluh kesah, ia tak pernah cerewet kelelahan, aku yang sering cerewet kelelahan, meski demikian minimal satu bulan satu kali kuajak ia jalan-jalan santai makan bareng di tempat service langgananku.

Perjalanan terus kulanjutkan menuju rumah ustadz Abdu (kalau makna ustadz disini adalah orang yang dijadikan sumber rujukan menimba Ilmu agama) untuk mengikuti pengajian pekanan, kulihat waktu menunjukkan pukul 19.45, masih ada 15 menit waktuku menuju rumah Ustadz Abdu. Sesampainya disana pukul 20.08 dan setelah semuanya berkumpul pukul 20.15, sejenak kemudian diumumkan oleh mas’ul (ketua kelompok) pengajian bahwa Ustadz Abdu sedang mengisi acara dalam perkumpulan masyarakat, dan pengajian baru bisa dimulai pukul 21.30 malam. Mengisi waktu luang, aku dan seorang sahabatku pergi ke sebuah Rumah Sakit A.Wahab Syahrani untuk menjenguk seorang kawan yang sedang tergeletak sakit disana, kabar sakitnyapun baru kami dapatkan di rawat inapnya yang sudah memasuki hari ke 4. Kamipun menuju rumah Sakit dengan satu motor setelah sebelumnya mampir sesaat ke toko roti. Lagi-lagi aku dapat pelajaran berharga di rumah Sakit. Namanya Muhammad. S, seorang kawan dengan satu istri belum memiliki anak di tiga tahun usia pernikahannya. Sakit karena telat makan di sibuknya aktifitas mencari maisyah (pengahasilan). Tiba-tiba aku teringat bahwa aku belum makan dari tadi siang karena belum sempat makan dirumah, untung pas acara diskusi di KMM As Syifa tadi disugukan makanan ringan, sehingga sedikit ada kekuatan dalam melanjutkan perjalanan. Dilain sisi kulihat keluarga kawanku ini adalah keluarga yang berada, ia adalah seorang pengusaha yang bisa dikatakan sukses, ayahnya banyak memilki ruko di kota ini. Mobilnya banyak. Namun demikian, ayahnyapun mengidap penyakit yang jauh lebih serius, membawanya harus berobat ke Singapura, check up ke Salah satu Kota di pulau Jawa setiap 2 pekannya, tentu hal tersebut mengeluarkan banyak biaya. Ya.. itulah hidup.. ada mereka yang miskin tapi sehat-sehat saja, tidak punya harta namun anaknya bak kesebelasan sepak bola, artinya Allah sangat Maha adil, Allah mengetahui kemampuan manusia, Allah menguji manusia tidak akan pernah melewati batas kemampuannya, Allah Maha adil.. Allah Maha adil.. Memberikan kesimpulan lain padaku bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Mungkin gagah atau cantik disatu sisi tapi malas ibadah disisi lain, mungkin kaya dan berpangkat disatu sisi tapi kurang menghargai pasangannya disisi lain, mungkin wajahnya biasa saja disatu sisi tapi penuh tanggung jawab terhadap keluarga disisi lain meski harta tak berpunya, mungkin baik dalam ibadahnya disatu sisi tapi kurang berharta bahkan miskin di sisi lainnya, dan lain sebagainya. Kulihat pemandangan dari pintu kamar rumah sakit yang terbuka, angin sedikit demi sedikit berhembus kencang, kilatan langit perlahan menandakan akan segera turun hujan, teringatku pada panasnya siang hari tadi membakar kulit. Kamipun berpamitan untuk meninggalkan ruangan berpacu dengan takdir hujan menerobos angin malam berharap sampai sebelum turunnya hujan menuju rumah ustadz Abdu. Ditengah perjalanan, langitpun tak kuasa menahan tangisnya, air itupun tumpah membasahi pipi dunia, pertanda cinta dari sang Pencipta kepada seluruh makhluq di dunia baik mereka yang beriman, maupun mereka yang kufur kepada nikmatn-Nya. Karena waktu yang terbatas, dengan hujan yang menusuk-nusuk membasahi seluruh tubuh ini, dengan satu motor dua penghuni kami lanjutkan perjalanan meski harus berbasah-basah. Karena kondisi yang tidak memungkinkan aku putuskan untuk menuju rumahku sejenak untuk berganti pakaian berhubung arahnya tidak berseberangan. Sesampainya dirumah dengan pakaian yang basah kudapatkan keluargaku lagi makan malam bersama dihadapan televisi, duduk lesehan melingkar bak majelis. Kupandang wajah ibuku yang menatap heran kearahku, mungkin dalam hatinya berucap “dari mana nak..,?”. segera kuganti pakaianku yang basah dengan jaket dan mantel hujan yang tadi lupa kubawa. Keluar dari kamar tidurku langsung kupeluk ibuku yang sedang duduk dengan piring ditangannya bersebelahan dengan ayahku sambil menyampaikan permohonan maaf karena harus keluar rumah lagi dan tidak bisa ikut makan malam bersama. Sambil tersenyum, Ibuku hanya bisa berucap hati-hati dijalan karena hujan belum begitu reda. Salah satu kesyukuran yang membuatku sangat beruntung adalah dikaruniakan keluarga yang sangat memahami aktifitasku, mereka sangat percaya kepada anak-anaknya bahwa anak-anaknya tidak akan berbuat hal yang macam-macam, dan terus kujaga serta kubuktikan kepercayaan itu. Segera kuhampiri sahabatku yang menunggu diluar, pakaiannya tidak terlalu basah karena ia duduk dibelakang motor sehingga bisa berlindung dari hujan. Kupacu motorku kembali, kulihat wajah motorku sudah tidak berbentuk, sepertinya ia tersenyum padaku, tapi senyum yang dipaksa, kukatakan padanya “besok kita jalan-jalan ya.. ketempat favoritmu di bengkel bang Dwi...”. hujan belum berhenti, dari atas motor kulihat jalan sudah mulai sepi, dengan sisa waktu mencoba menembus waktu berharap sampai tepat waktu, diantara tusukan hujan bak jarum-jarum yang menusuk-nusuk secara istiqomah. Lampu jalan menambah anggun warna hujan yang bening, pantulan sinarnya sedikit meneduhkan pikiranku yang sedang terbayang wajah ibuku dirumah. “Ya Allah beri hamba kekuatan di lemahnya diri, di lemasnya kaki dan terbatasnya kemampuan diri”

Didepan Rumah ustadz Abdu sudah berderet beberapa motor dan satu mobil. Segera kami masuk dengan disambut wajah-wajah cerah yang selalu kurindu disetiap pekannya. Acara dibuka oleh salah seorang peserta pengajian, kemudian dilanjutkan taushiyah dari salah seorang peserta pengajian lainnya. Didalamnya disampaiakan tentang Quwwatul azzam (Kekuatan Tekat) dalam perjuangan membangun kebaikan demi kebaikan dalam masyarakat. “Ikhwah fillah” ucapnya. “kebaikan itu selalu berhadapan dengan kebathilan, kalau para pendukung kebathilan saja PeDe dengan kebathilannya, mengapa kita tidak PeDe dengan kebaikan kita” Lanjutnya. “Maka kuatkan tekat kita untuk selalu bersama dakwah ini melakukan kebaikan demi kebaikan, Jangan mudah berputus asa dan lawan rasa lelah” tambahnya. Dalam hatiku berucap luar biasa taushiyahnya, semoga aku bisa menjadi seperti yang diucapkannya. Dak akhirnya tiba saatnya Ustadz Abdu menyampaikan madah (materi) pengajiaannya tentang Tadhiyyah (Pengorbanan).

“Ikhwah fillah, Allah berfirman: Tidak akan berubah kondisi suatu kaum, sebelum kita mengubah kondisi yang ada pada kita sendiri, maka mari perbaiki diri untuk kemudian kita lanjutkan kebaikan itu, kita sebarkan kebaikan itu kepada orang lain agar semua orang dapat merasakan kebaikan demi kebaikan sebagai indah dan nikmatnya iman dan Islam ini. Dan tidak akan pernah terwujud kebaikan dan kemaslahan umat kalau tidak dibarengi dengan pengorbanan, kalau bangsa Palestina hari ini berkorban darah dan nyawa, mengapa kita enggan dan malas untuk hanya sekedar berkorban waktu dan tenaga”. Panjang lebar dijelaskan oleh Ustadz Abdu, begitu luar biasa dan menggugahnya, menambah semangat dalam dada untuk dapat memberikan yang terbaik untuk jalan ini. Rasa lelah yang sangat, yang hinggap setia menemani seolah hilang bersamaan dengan guyuran taushiyah Ustadz Abdu. Kami biasa menyebutnya dengan Murobbi, artinya orang yang mendidik, mendidik kami dengan Islam sehingga kami mengerti sedikit demi sedikit tentang Islam ini. Ingin aku katakan padanya bahwa aku akan selalu menjaga jalan ini, aku ingin pula minta maaf kepadanya karena belum bisa menjadi seperti yang diharapkannya padaku. Belum bisa mengoptimalkan amanah yang diberikannya padaku, belum bisa menjadikannya bangga memiliki seorang anggota pengajian seperti ku. Namun yang pasti aku begitu mencintainya karena Allah SWT. Hujan diluar nampak deras sekali, namun kemudian berganti dengan rintikan yang semakin terdengar sayup, suara kilat langit bernyanyi menemani indahnya suasana keakraban malam hari ini. Dalam dada kesyukuran ku mengiba “Robbi.. auzi’ni an asykuro nikmatakallati an am ta’alaiya wa ala waalidayya wa an a’malashoolihan tardhohu wadkhilni birohmatika fii ibadillaahisholihiin”.

Setelah acara pengajian pukul 23.00 malam, Ustadz Abdu meminta kami untuk membantu memasang atribut, untuk pensuksesan agenda dakwah lainnya. Tidak ada kata lain bagi kami, selain “siap”. Memasang atribut dakwah di jalan, mempublikasikan kepada masyarakat agar masyarakat tahu dan mendengar bahwa syiar Islam akan terus berjalan seiring berkembangnya pemahaman masyarakat akan Islam itu sendiri. Yang menjadikan aku kagum, ternyata Ustadz Abdu pun ikut memasang atribut sama seperti kami hingga pukul 03.00 pagi. Aku berfikir, beliaupun punya keluarga, beliaupun punya anak, beliau pun harus mengurus semua itu, tapi untuk kepentingan dakwah ia rela untuk sementara meninggalkan itu semua. Aku pun mulai berfikir, mengapa ada orang-orang seperti beliau, dilain sisi begitu banyak “mereka” yang santai, tidak mengisi pengajian dan tidak pula mambantu pensuksesan agenda dakwah lainnya, tidak memiliki amanah, dengan beribu alasan mereka utarakan untuk membenarkan ketidak terlibatannya dalam dakwah ini. Mengingatkanku sebagaimana sifat orang-orang Yahudi yang menyuruh Nabi Musa pergi berjuang sendirian bersama Tuhannya.

Sepulangnya kerumah tepat pukul 03.00, kubuka pagar rumahku, perlahan kucoba membuka pintu rumah, tapi terkunci. Kalau sudah seperti ini biasanya aku menuju samping rumah, dekat jendela kamar saudara perempuanku, kuketuk jendela kamarnya untuk membukakan pintu rumah. Karena dia orangnya sensitif, tidak bisa mendengan suara sedikitpun langsung bangun, sekali saja kuketuk jendelanya langsung saja ia terbangun dan mengerti maksud ku. Akhirnya dibukanya juga pintu rumah. Dan Alhamdulillah semua orang di dalam keluagaku memahami aktifitasku meski harus pulang dini hari. Ada satu yang kulupa dari perjalananku sampai detik ini, bahwa “aku lelah sekali”. Dalam kondisi rumah yang gelap, aku masuk kamarku, kemudian masuk kamar mandi membasuh kaki dan muka, kulanjutkan dengan berwudhu. Kurebahkan badan dengan kaki yang menggetar ini diatas tempat tidurku, dengan mata yang sudah sayup berharap Allah memberikan mimpi indah malam hari ini, dengan tenaga sisa kustel alaram di handphone ku berharap bisa bangun subuh hari. Suara jangkrik sangat jelas terdengar, ditambah suara 3 ekor angsa tetangga menina bobokkan ku dalam kelelahan yang maha sangat, kesunyian di malam ini menyuruhku segera beranjak dari alam dunia menuju alam lainnya. Bismikallahumma ahya wabismika amuut......... Didalam tidur aku bermimpi bertemu ibu, ibu yang sangat menyayangiku, ia datang kepadaku menggandeng tangan seorang gadis. Diangkatnya tangan gadis tersebut dan diserahkannya padaku. Ah.. ibu... aku mengerti maksudmu...

Bersambung besok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar