Ikhwah wa
Akhwat fiddin rahimakumullah....
Dunia dakwah dan jihad, pada
setiap penggalan zaman, selalu saja menampilkan sosok-sosok agung. Mereka
menjadi bintang-bintang dalam lembar-lembar sejarah kehidupan manusia. Karena mereka
berhasil mengemban dan menunaikan misi penyelamatan (inqadz) umat
manusia dari kehancuran dan kesengsaraan. Tanpa usaha mereka -dan sebelum itu,
tanpa pertolongan dari Allah- tidak
mungkin cahaya Islam menerangi umat manusia yang hidup pada zaman ini, di
seluruh irisan bumi.
Namun di
sudut lain, ada pula realitas yang tidak boleh luput dari
kesadaran kita. Ini boleh jadi merupakan sisi buram dan sangat tidak indah
untuk dikenang. Sebagaimana halnya di atas pentas dakwah banyak para mujahid
da’wah -meminjam isitilah KH. Isa Anshari- maka di pentas yang sama, tidak
sedikit para pengkhianat dakwah, benalu dakwah, atau orang-orang yang hanya
terikat dengan ikatan yang amat ringkih dengan da’wah. Ikatan yang tidak mampu
mempertahankan dirinya di medan dakwah saat terjadi hempasan gelombang ujian.
Atau bahkan tak mampu menjadikannya sabar barang sesaat ketika ada sepoi-sepoi
godaan dunia.
Saudara-saudaraku di jalan
dakwah....
Orang-orang munafik adalah
pengkhianat dakwah terbesar. Al-quran berbicara banyak tentang ciri-ciri dan karakter
mereka. Dan kaum Muslimin di masa Rasulullah saw. mendapat ujian amat berat
dengan kehadiran orang yang bermuka dua itu. Mereka tidak mau disebut kafir
(QS. 2:8). Namun, pernyataan-pernyataan mereka sering menyakitkan kaum Muslimin
bahkan Rasulullah saw. (QS. 9: 61). Mereka malah senang kalau umat Islam
dilanda kekacauan dan perpecahan (QS. 9: 47-48). Alih-alih memperkuat barisan
kaum Muslimin, mereka malah berkoalisi, mendukung, dan membela musuh-musuh
Islam (QS. 58: 14).
Orang pragmatis (baca:
munafiq) pasti senantiasa ada sepanjang masa dan selama dakwah haq terus
berjalan. Ada lagi fenomena yang lebih ringan dari itu. Disebut lebih ringan,
karena tidak sampai pada tingkat nifaq yang hakikatnya kafir. Fenomena
yang dimaksudkan adalah lemahnya ikatan batin dengan dakwah. Mereka tetap
Muslim dan tidak sampai menghalangi-halangi dakwah. Namun, dakwah tidak lagi
menjadi bagian dari hidupnya. Antara dirinya dengan dakwah bisa dicerai oleh
hal sepele saja.
Inilah yang oleh para pakar dakwah disebut futur (keloyoan)
dalam dakwah. Tentu saja fenomenanya tidak sekedar “menggantungkan peci” atau
berhenti naik mimbar. Karena, bukankah kita sudah sepakat bahwa yang disebut
dakwah bukan hanya tabligh, ceramah atau khutbah? Dakwah adalah segala
aktifitas yang ditujukan untuk menyampaikan hidayah Allah kepada manusia dan
mengajak mereka untuk istiqamah menjalankan segala yang diajarkan Allah dalam
Quran dan Sunnah. Jadi aktifis dakwah tidak harus penceramah atau mubaligh dan
mubalighah. Oleh karena itu pula, yang mundur dari gelanggang dakwah jangan
hanya dimaknai berhenti dari ceramah. Berhenti dari segala aktifitas dakwah
adalah masuk kategori mundur dari gelanggang dakwah.
Ayyuhal ikhwah....
Memang, ada jaminan dari Allah begini: meskipun usaha-usaha
penghancuran Islam dan umatnya serta pemurtadan yang dilakukan secara gencar
dan terus menerus, akan tetapi Allah swt. menjamin bumi ini tidak akan sepi
dari orang-orang yang berdakwah dan menegakkan kebenaran. Rasulullah saw
menjelaskan:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى
الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Akan senantiasa ada segolongan
dari umatku yang terus menerus menegakkan kebenaran. Tidak dapat mencelakakan
mereka orang yang menghinakan mereka hingga kemenangan dari Allah datang, dan
mereka tetap dalam keadaan demikian (menegakkan kebenaran).” (Al-Bukhari
dan Muslim)
Namun, jaminan itu berlaku untuk komunitas, bukan untuk
personal. Selalu ada orang-orang (jama’ah) yang konsisten dalam dakwah dan
perlawanan terhadap kezaliman. Mustahil ada suatu masa kosong dari komunitas orang-orang
seperti itu. Akan tetapi, bukanlah hal mustahil jika ada personal dari jama’ah
tersebut yang mundur dari medan dakwah. Idealnya, tentu saja, setiap aktifis
dakwah terlibat secara istimror (tiada henti) dalam dakwah dengan segala
bentuk aktifitasnya. Akan tetapi, memang kenyataannya ketergelinciran atau
keloyoan bisa terjadi pada orang-orang tertentu. Orang-orang yang masuk dalam
gerbong dakwah adalah manusia biasa dengan segala sifat kemanusiaannya.
Adanya orang-orang yang mundur (insilakh)) dari kebenaran dan
orang-orang yang menarik diri dari keterlibatan dalam perjuangan juga
diisyaratakan oleh Allah swt. dalam Quran.
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami
berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian
dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan
(sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.”
(QS. 7:175)
“Tidaklah sama antara mu'min yang duduk (yang tidak turut
berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan
Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat.
Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala
yang besar, (QS. 4:95)
Saudara-saudaraku yang dicintai Allah....
Meskipun adanya orang yang mundur dari gelanggang dakwah
adalah bagian dari sunnatudda’wah, namun bukan berarti kita boleh
membiarkannya. Perlu ada upaya untuk mengantisipasi dan mengobati gejala
tersebut. Di antara bentuk antisipasi adalah mengenal sebab-sebab terjadi futur
atau insilakh dari dakwah itu. Mengenal sebab-sebabnya bukan untuk
disimpan dalam file atau memori otak kita melainkan untuk ditindaklanjuti dan
disikapi dengan pola pembinaan yang relevan.
Ustadz Jasim Muhalhil mengurai hal itu. Beberapa yang beliau
sebutkan adalah:
Pertama, kesombongan.
Kesombongan biasanya disertai sikap penolakan terhadap
kebaikan dan kebenaran. Allah swt. mengisyaratkan, “Sesungguhnya orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya…” (QS. 7:40)
Dan Rasulullah saw menegaskan, “Kesombongan adalah menolak
kebenaran dan melecehkan orang lain.”
Bentuk kesombongan dalam konteks dakwah misalnya melecehkan
kepada pimpinan dakwah dengan mengatakan, “Mengapa harus dia yang jadi
pemimpin? Apa yang membuatnya layak untuk itu? Untuk apa aku melaksanakan
program-programnya yang dangkal dan tidak realistis?
Kedua, mengkhawatirkan diri dan keluarga
Kekhawatiran akan keselamatan diri dan keluarga dapat
menjangkiti para da’i saat turun atau berkurangnnya keyakinan bahwa ajal dan
rizki berada di tangan Allah swt. Hal itu akan lebih parah lagi di saat
kesibukan dakwah demikian membelenggu, sementera suplai ruhiyah amat minim.
Sejarah juga telah mencatatkan untuk kita kisah Hathib Bin Abi
Balta’ah. Saat Rasulullah saw dan orang-orang tertentu dari kalangan sahabat
merencanakan serangan ke Makkah secara rahasia, Hathib berusaha mengirim surat
melalui kurir untuk memberitahu orang-orang Quraisy tentang rencana itu. Namun
Allah swt. melindungi Rasulullah saw dan kaum Muslimin dari pengkhianatan itu.
Hathib -semoga Allah meridoinya- sendiri terselamatkan dengan jasanya sebagai
salah satu dari assabiqunal-awwalun dan peran sertanya dalam Perang Badar. Hal
itu ternyata dilakukannya bukan karena kemunafikan, tidak pula karena murtad.
Melainkan karena kelemahan manusiawi dan harapan mendapat tempat di sisi
orang-orang Quraisy kelak usai pertempuran.
Karenannya, manhaj rabbani mengajari kita dengan kisah Nabi
Musa as. Allah swt. menerangkan, “Dan (ingatlah) ketika Rabbmu menyeru Musa
(dengan firman-Nya): "Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum
Fir'aun. Mengapa mereka tidak bertaqwa?" Berkata Musa: "Ya Rabbku,
sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan (karenanya)
sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun.
Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku".
Allah berfirman: "Jangan takut (mereka tidak akan berhasil membunuhmu), maka
pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (mu'jizat-mu'jizat);
sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan).”
(QS. 26: 10-15)
Meskipun kekhawtiran Nabi Musa adalah terhadap nasib dakwah
bukan terhadap dirinya, akan tetapi Allah swt. memberikan jawaban tegas, “Jangan
takut (mereka tidak akan berhasil membunuhmu).”
Ketiga, sifat terburu-buru (isti’jal).
Dakwah adalah proyek panjang yang tidak ada putusnya hingga
hari kiamat. Allah pun sudah memberikan parameter kemenangan perjuangan dalam
ayat-Nya:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman
diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun
dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka
itulah orang yang fasik.” (QS. 24:55)
Persoalannya adalah kemenangan itu hadir atas kuasa dan
kehendak Allah bukan atas perencanaan dan keinginan manusia. Sangat boleh jadi
kemenangan belum juga Allah berikan, padahal para da’i dan mujahid telah habis-habisan berjuang dan
berjihad.
Nah, bagi orang yang tidak memahami manhaj dan Sunnah dakwah
secara utuh, kondisi di atas tidak mustahil menyebabkan munculnya frustrasi.
Masih mending kalau frustrasi itu membuahkan sikap introspektif kemudian
memperbaiki diri. Namun tidak jarang yang muncul adalah justeru lepas dari
ikatan-ikatan dakwah.
Ayyuhal ikhwah....
Apa yang disebutkan di atas hanyalah beberapa contoh
sebab-sebab kemunduran seseorang dari arena perjuangan dakwah. Sekali lagi, ini
menegaskan kepada kita bahwa tarbiyah adalah keniscayaan dalam dakwah.
Dan salah satu aspek dalam tarbiyah seperti yang Allah
sebutkan dalam Surah Al-Jumuah ayat kedua adalah adanya aktivitas pembersihan
diri: zhahir dan batin. Tarbiyah senantiasa membingkai hati untuk selalu bersih
dari segala syahwat kepentingan, keraguan, emosi yang tak terkendali, ego
sentris, dan keputusasaan.
Semoga Allah swt. senantiasa membingkai dan membimbing hati
kita untuk selalu konsisten dalam jalan dakwah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar