Menjaga, Menata lalu Bercahaya

SALMAN Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’. ”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni. ”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.”
Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati. ”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.” Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis.
Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara. ”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
♥♥♥
Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda’. Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu merekapun bercahaya dalam pentas sejarah. Bagaimanakah kiranya? Ijinkan saya mengenang seorang ulama yang berhasil mengintisarikan Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam Al Ghazali. Ustadz Sa’id Hawa namanya.
Dalam buku Tazkiyatun Nafs, beliau menggambarkan pada kita proses untuk menjadi orang yang shadiq, orang yang benar. Prosesnya ada empat, ialah sebagai berikut, Shidqun Niyah Artinya benar dalam niat. Benar dalam semburat pertama hasrat hati. Benar dalam mengikhlaskan diri. Benar dalam menepis syak dan riya’. Benar dalam menghapus sum’ah dan ‘ujub.
Benar dalam menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan pujian kanan dan celaan kiri. Benar dalam kejujuran pada Allah. Benar dalam persangkaan pada Allah. Benar dalam meneguhkan hati. hidqul ‘Azm Artinya benar dalam tekad. Benar dalam keberanian-keberanian. Benar dalam janji-janji pada Allah dan dirinya. Benar dalam memancang target-target diri. Benar dalam pekik semangat. Benar dalam menemukan motivasi setiap kali. Benar dalam mengaktivasi potensi diri. Benar dalam memikirkan langkah-langkah pasti. Benar dalam memantapkan jiwa.
Shidqul Iltizam
Artinya benar dalam komitmen. Benar dalam menetapi rencana-rencana. Benar dalam melanggengkan semangat dan tekad. Benar dalam memegang teguh nilai-nilai. Benar dalam memaksa diri. Benar dalam bersabar atas ujian dan gangguan. Benar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Benar dalam mengistiqamahkan dzikir, fikir, dan ikhtiyar.
Shidqul ‘Amaal
Artinya benar dalam proses kerja. Benar dalam melakukan segalanya tanpa menabrak pagar-pagar Ilahi. Benar dalam cara. Benar dalam metode. Benar dalam langkah-langkah yang ditempuh. Benar dalam profesionalisme dan ihsannya amal. Benar dalam tiap gerak anggota badan. Nah, mari coba kita refleksikan proses menjadi orang benar ini dalam proses menuju pernikahan.
Seperti Salman. Ia kuat memelihara aturan-aturan syar’i. Dan mengharukan caranya mengelola hasrat hati. Insyaallah dengan demikian keberkahan itu semakin mendekat. Jikalau Ash Shidq berarti kebenaran dan bermakna kejujuran, maka yang pertama akan tampak sebagai gejala keberkahan adalah di saat kita jujur dan benar dalam bersikap pada Allah dan manusia.
♥♥♥
Apa kiat sederhana untuk menjaga hati menyambut sang kawan sejati? Dari pengalaman, ini jawabnya: memfokuskan diri pada persiapan. Mereka yang berbakat gagal dalam pernikahan biasanya adalah mereka yang berfokus pada “Who”. Dengan siapa. Mereka yang insyaallah bisa melalui kehidupan pernikahan yang penuh tantangan adalah mereka yang berfokus pada “Why” dan “How”.
Mengapa dia menikah, dan bagaimana dia meraihnya dalam kerangka ridha Allah. Maka jika kau ingin tahu, inilah persiapan-persiapan itu:
Persiapan Ruhiyah (Spiritual) Ini meliputi kesiapan kita untuk mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggung jawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan berlapang dada. Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata, yakni sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumahtangga.
Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu-Intelektual)
Bersiaplah menata rumahtangga dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad Diin. Ada ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk menjadi orangtua yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan banyak ilmu yang lain.
Persiapan Jasadiyah (Fisik) Jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan penyembuhannya. Keputihan pada akhwat misalnya. Atau gondongan (parotitis) bagi ikhwan. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok, bisa menyerang testis. Panu juga harus disembuhkan, he he.
Perhatikan kebersihan. Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal, thayyib, dan teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga, apalagi pada bagian yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalaman yang terlalu ketat misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas sperma. Nah.
Persiapan Maaliyah (Material) Konsep awal; tugas suami adalah menafkahi, bukan mencari nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan & penegasan kepemimpinan suami. Persiapan finansial nikah sama sekali tidak bicara tentang berapa banyak uang, rumah kendaraan yang harus kita punya. Persiapan finansial bicara tentang kapabilitas menghasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu dan kemampuan mengelola sejumlah apapun ia. Maka memulai per nikahan, bukan soal apa kita sudah punya tabungan, rumah dan kendaraan. Ia soal kompetensi dan  kehendak baik menafkahi.
Adalah ‘Ali ibn Abi Thalib memulai pernikahannya bukan dari nol, melainkan minus: rumah, perabot, dan lain-lain dari sumbangan kawan dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi ‘Ali menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten; dia mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan upah segenggam kurma. Maka sesudah kompetensi & kehendak menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja -apapun ia-, iman menuntun: pernikahan itu jalan Allah membuka kekayaan (QS 24: 32).
Buatlah proyeksi nafkah rumahtangga secara ilmiah dan executable. Jangan dan ukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya. Kemapanan itu tidak abadi. Saat belum mapan masing-masing pasangan bisa belajar untuk menghadapi lapang maupun sempitnya kehidupan. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda J. Waite, signifikan memperkuat ikatan cinta. Ketidakmapanan yang dinamis menurut penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan jantung dan meningkatkan angka harapan hidup.
Persiapan Ijtima’iyyah (Sosial) Artinya, siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi dan misi da’wah di lingkungannya.
Nah, ini semua adalah persiapan. Artinya sesuatu yang kita kerjakan dalam proses yang tak berhenti. Seberapa banyak dari persiapan di atas yang harus dicapai sebelum menikah? Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena, bahkan proses persiapan hakikatnya adalah juga proses perbaikan diri yang kita lakukan sepanjang waktu.
Setelah menikah pun, kita tetap harus terus mengasah apa-apa yang kita sebut sebagai persiapan menikah itu. Lalu, kapan kita menikah? Ya. Memang harus ada parameter yang jelas.
Apa? Rasulullah ternyata hanya menyebut satu parameter di dalam hadits berikut ini. Satu saja. Coba perhatikan. “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah bermampu BA’AH, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sungguh puasa itu benteng baginya.” (HR Al Bukhari dan Muslim) Hanya ada satu parameter saja. Apa itu? Ya, ba’ah. Apa itu ba’ah?
Sebagian ‘ulama berbeda pendapat tetapi menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang utama adalah kemampuan biologis, kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya, menurut Imam Asy Syaukani adalah al mahru wan nafaqah, mahar dan nafkah. Sedang menurut ‘ulama lain adalh penyediaan tempat tinggal. Tetapi, makna utamalah yang ditekankan yakni kemampuan jima’. Maka, kita dapati generasi awal ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda. Bahkan sejak mengalami ihtilam (mimpi basah) pertama kali.
Sehingga, kata Ustadz Darlis Fajar, di masa Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, tidak ada kenakalan remaja. Lihatlah sekarang, kata beliau, ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh menyejarah menikah di usia belasan. Yusuf Al Qaradlawi menikah di usia belasan, ‘Ali Ath Thanthawi juga begitu. Beliau lalu mengutip hasil sebuah riset baru di Timur Tengah, bahwa penyebab banyaknya kerusakan moral di tengah masyarakat adalah banyaknya bujangan dan lajang di tengah masyarakat itu. Nah. Selesai sudah.
Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun bekal, anda sudah dituntut menikah kalau sudah ba’ah. Maka persiapan utama adalah komitmen. Komitmen untuk menjadikan pernikahan sebagai perbaikan diri terus menerus. Saya ingin menegaskan, sesudah kebenaran dan kejujuran, gejala awal dari barakah adalah mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang lain. Sudah berani melangkah sekarang? Apakah anda masih perlu sebuah jaminan lagi?
Baik, Allah akan memberikannya, Allah akan menggaransinya: “Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah menolong mereka. Pertama, budak mukatab yang ingin melunasi dirinya agar bisa merdeka. Dua, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari ma’shiat. Dan ketiga, para mujahid di jalan Allah.” (HR At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Pernah di sebuha milis, saya juga menyentil sebuah logika kecil yang pernah disampaikan seorang kawan lalu saya modifikasi sedikit. Apa itu? Tentang bahwa menikah itu membuka pintu rizqi. Jadi logikanya begini. Jatah rizqi kita itu sudah ada, sudah pasti sekian-sekian. Kita diberi pilihan-pilihan oleh Allah untuk mengambilnya dari jalan manapun.
Tetapi, ia bisa terhalang oleh beberapa hal semisal malas, gengsi, dan ma’shiat. Kata ‘Umar ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak ma’shiatnya, pasti diragukan kejantanannya. Nah, kebanyakan insyaallah jantan. Cuma ada ma’shiat. Ini saja sudah menghalangi rizqi.
Belum lagi gengsi dan pilih-pilih pekerjaan yang kita alami sebelum menikah. Malu, gengsi, pilih-pilih. Tapi begitu menikah, anda mendapat tuntutan tanggungjawab untuk menafkahi. Bagi yang berakal sehat, tanggungjawab ini akan menghapus gengsi dan pilih-pilih itu. Ada kenekatan yang bertanggungjwab ditambah berkurangnya ma’shiat karena di sisi sudah ada isteri yang Allah halalkan.
Apalagi, kalau memperbanyak istighfar. Rizqi akan datang bertubi-tubi. Seperti kata Nabi Nuh ini, “Maka aku katakan kepada mereka: “Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh 10-12)
Pernah membayangkan punya perkebunan yang dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah beristighfar, dan segeralah menikah, insyaallah barakah. Nah, saya sudah menyampaikan. Sekali lagi, gejala awal dari barakahnya sebuah pernikahan adalah kejujuran ruh, terjaganya proses dalam bingkai syaria’t, dan memudahkan diri. Ingat kata kuncinya; jujur, syar’i, mudah. Saya sudah menyampaikan, Allaahummasyhad! Ya Allah saksikanlah! Jika masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat selanjutnya amat relevan ditelunjukkan ke arah wajah kita. “Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (Nuh 13) Begitulah. Selamat menyambut kawan sejati, sepenuh cinta.*
Salim A Fillah

YANG BERJATUHAN DI JALAN DAKWAH


Ikhwah wa Akhwat fiddin rahimakumullah....
Dunia dakwah dan jihad, pada setiap penggalan zaman, selalu saja menampilkan sosok-sosok agung. Mereka menjadi bintang-bintang dalam lembar-lembar sejarah kehidupan manusia. Karena mereka berhasil mengemban dan menunaikan misi penyelamatan (inqadz) umat manusia dari kehancuran dan kesengsaraan. Tanpa usaha mereka -dan sebelum itu, tanpa pertolongan dari Allah-  tidak mungkin cahaya Islam menerangi umat manusia yang hidup pada zaman ini, di seluruh irisan bumi.
Namun di sudut lain, ada pula realitas yang tidak boleh luput dari kesadaran kita. Ini boleh jadi merupakan sisi buram dan sangat tidak indah untuk dikenang. Sebagaimana halnya di atas pentas dakwah banyak para mujahid da’wah -meminjam isitilah KH. Isa Anshari- maka di pentas yang sama, tidak sedikit para pengkhianat dakwah, benalu dakwah, atau orang-orang yang hanya terikat dengan ikatan yang amat ringkih dengan da’wah. Ikatan yang tidak mampu mempertahankan dirinya di medan dakwah saat terjadi hempasan gelombang ujian. Atau bahkan tak mampu menjadikannya sabar barang sesaat ketika ada sepoi-sepoi godaan dunia.

Saudara-saudaraku di jalan dakwah....
Orang-orang munafik adalah pengkhianat dakwah terbesar. Al-quran berbicara banyak tentang ciri-ciri dan karakter mereka. Dan kaum Muslimin di masa Rasulullah saw. mendapat ujian amat berat dengan kehadiran orang yang bermuka dua itu. Mereka tidak mau disebut kafir (QS. 2:8). Namun, pernyataan-pernyataan mereka sering menyakitkan kaum Muslimin bahkan Rasulullah saw. (QS. 9: 61). Mereka malah senang kalau umat Islam dilanda kekacauan dan perpecahan (QS. 9: 47-48). Alih-alih memperkuat barisan kaum Muslimin, mereka malah berkoalisi, mendukung, dan membela musuh-musuh Islam (QS. 58: 14).

Orang pragmatis (baca: munafiq) pasti senantiasa ada sepanjang masa dan selama dakwah haq terus berjalan. Ada lagi fenomena yang lebih ringan dari itu. Disebut lebih ringan, karena tidak sampai pada tingkat nifaq yang hakikatnya kafir. Fenomena yang dimaksudkan adalah lemahnya ikatan batin dengan dakwah. Mereka tetap Muslim dan tidak sampai menghalangi-halangi dakwah. Namun, dakwah tidak lagi menjadi bagian dari hidupnya. Antara dirinya dengan dakwah bisa dicerai oleh hal sepele saja.
Inilah yang oleh para pakar dakwah disebut futur (keloyoan) dalam dakwah. Tentu saja fenomenanya tidak sekedar “menggantungkan peci” atau berhenti naik mimbar. Karena, bukankah kita sudah sepakat bahwa yang disebut dakwah bukan hanya tabligh, ceramah atau khutbah? Dakwah adalah segala aktifitas yang ditujukan untuk menyampaikan hidayah Allah kepada manusia dan mengajak mereka untuk istiqamah menjalankan segala yang diajarkan Allah dalam Quran dan Sunnah. Jadi aktifis dakwah tidak harus penceramah atau mubaligh dan mubalighah. Oleh karena itu pula, yang mundur dari gelanggang dakwah jangan hanya dimaknai berhenti dari ceramah. Berhenti dari segala aktifitas dakwah adalah masuk kategori mundur dari gelanggang dakwah.

Ayyuhal ikhwah....
Memang, ada jaminan dari Allah begini: meskipun usaha-usaha penghancuran Islam dan umatnya serta pemurtadan yang dilakukan secara gencar dan terus menerus, akan tetapi Allah swt. menjamin bumi ini tidak akan sepi dari orang-orang yang berdakwah dan menegakkan kebenaran. Rasulullah saw menjelaskan:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang terus menerus menegakkan kebenaran. Tidak dapat mencelakakan mereka orang yang menghinakan mereka hingga kemenangan dari Allah datang, dan mereka tetap dalam keadaan demikian (menegakkan kebenaran).” (Al-Bukhari dan Muslim)
Namun, jaminan itu berlaku untuk komunitas, bukan untuk personal. Selalu ada orang-orang (jama’ah) yang konsisten dalam dakwah dan perlawanan terhadap kezaliman. Mustahil ada suatu masa kosong dari komunitas orang-orang seperti itu. Akan tetapi, bukanlah hal mustahil jika ada personal dari jama’ah tersebut yang mundur dari medan dakwah. Idealnya, tentu saja, setiap aktifis dakwah terlibat secara istimror (tiada henti) dalam dakwah dengan segala bentuk aktifitasnya. Akan tetapi, memang kenyataannya ketergelinciran atau keloyoan bisa terjadi pada orang-orang tertentu. Orang-orang yang masuk dalam gerbong dakwah adalah manusia biasa dengan segala sifat kemanusiaannya.
Adanya orang-orang yang mundur (insilakh)) dari kebenaran dan orang-orang yang menarik diri dari keterlibatan dalam perjuangan juga diisyaratakan oleh Allah swt. dalam Quran.
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. 7:175)
Tidaklah sama antara mu'min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (QS. 4:95)

Saudara-saudaraku yang dicintai Allah....
Meskipun adanya orang yang mundur dari gelanggang dakwah adalah bagian dari sunnatudda’wah, namun bukan berarti kita boleh membiarkannya. Perlu ada upaya untuk mengantisipasi dan mengobati gejala tersebut. Di antara bentuk antisipasi adalah mengenal sebab-sebab terjadi futur atau insilakh dari dakwah itu. Mengenal sebab-sebabnya bukan untuk disimpan dalam file atau memori otak kita melainkan untuk ditindaklanjuti dan disikapi dengan pola pembinaan yang relevan.
Ustadz Jasim Muhalhil mengurai hal itu. Beberapa yang beliau sebutkan adalah:
Pertama, kesombongan.
Kesombongan biasanya disertai sikap penolakan terhadap kebaikan dan kebenaran. Allah swt. mengisyaratkan, “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya…” (QS. 7:40)
Dan Rasulullah saw menegaskan, “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan melecehkan orang lain.”

Bentuk kesombongan dalam konteks dakwah misalnya melecehkan kepada pimpinan dakwah dengan mengatakan, “Mengapa harus dia yang jadi pemimpin? Apa yang membuatnya layak untuk itu? Untuk apa aku melaksanakan program-programnya yang dangkal dan tidak realistis? 
Kedua, mengkhawatirkan diri dan keluarga
Kekhawatiran akan keselamatan diri dan keluarga dapat menjangkiti para da’i saat turun atau berkurangnnya keyakinan bahwa ajal dan rizki berada di tangan Allah swt. Hal itu akan lebih parah lagi di saat kesibukan dakwah demikian membelenggu, sementera suplai ruhiyah amat minim.
Sejarah juga telah mencatatkan untuk kita kisah Hathib Bin Abi Balta’ah. Saat Rasulullah saw dan orang-orang tertentu dari kalangan sahabat merencanakan serangan ke Makkah secara rahasia, Hathib berusaha mengirim surat melalui kurir untuk memberitahu orang-orang Quraisy tentang rencana itu. Namun Allah swt. melindungi Rasulullah saw dan kaum Muslimin dari pengkhianatan itu. Hathib -semoga Allah meridoinya- sendiri terselamatkan dengan jasanya sebagai salah satu dari assabiqunal-awwalun dan peran sertanya dalam Perang Badar. Hal itu ternyata dilakukannya bukan karena kemunafikan, tidak pula karena murtad. Melainkan karena kelemahan manusiawi dan harapan mendapat tempat di sisi orang-orang Quraisy kelak usai pertempuran.
Karenannya, manhaj rabbani mengajari kita dengan kisah Nabi Musa as. Allah swt. menerangkan, “Dan (ingatlah) ketika Rabbmu menyeru Musa (dengan firman-Nya): "Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Fir'aun. Mengapa mereka tidak bertaqwa?" Berkata Musa: "Ya Rabbku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku". Allah berfirman: "Jangan takut (mereka tidak akan berhasil membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (mu'jizat-mu'jizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan).” (QS. 26: 10-15)
Meskipun kekhawtiran Nabi Musa adalah terhadap nasib dakwah bukan terhadap dirinya, akan tetapi Allah swt. memberikan jawaban tegas, “Jangan takut (mereka tidak akan berhasil membunuhmu).”

Ketiga, sifat terburu-buru (isti’jal).
Dakwah adalah proyek panjang yang tidak ada putusnya hingga hari kiamat. Allah pun sudah memberikan parameter kemenangan perjuangan dalam ayat-Nya:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.” (QS. 24:55)
Persoalannya adalah kemenangan itu hadir atas kuasa dan kehendak Allah bukan atas perencanaan dan keinginan manusia. Sangat boleh jadi kemenangan belum juga Allah berikan, padahal para da’i  dan mujahid telah habis-habisan berjuang dan berjihad.
Nah, bagi orang yang tidak memahami manhaj dan Sunnah dakwah secara utuh, kondisi di atas tidak mustahil menyebabkan munculnya frustrasi. Masih mending kalau frustrasi itu membuahkan sikap introspektif kemudian memperbaiki diri. Namun tidak jarang yang muncul adalah justeru lepas dari ikatan-ikatan dakwah.

Ayyuhal ikhwah....
Apa yang disebutkan di atas hanyalah beberapa contoh sebab-sebab kemunduran seseorang dari arena perjuangan dakwah. Sekali lagi, ini menegaskan kepada kita bahwa tarbiyah adalah keniscayaan dalam dakwah.
Dan salah satu aspek dalam tarbiyah seperti yang Allah sebutkan dalam Surah Al-Jumuah ayat kedua adalah adanya aktivitas pembersihan diri: zhahir dan batin. Tarbiyah senantiasa membingkai hati untuk selalu bersih dari segala syahwat kepentingan, keraguan, emosi yang tak terkendali, ego sentris, dan keputusasaan.
Semoga Allah swt. senantiasa membingkai dan membimbing hati kita untuk selalu konsisten dalam jalan dakwah ini.