Rahasia Ujian

Dalam setiap episode kehidupan yang kita jalani baik dulu, kini dan yang akan datang pasti tak kan lepas dari apa yang dinamakan dengan ujian, paradigma sebagian orang yang muncul kemudian dari pola pikir tanpa penghayatan lebih mendalam adalah bahwa ujian itu menyakitkan dan menyebalkan seolah hidup menjadi gersang dan berawa duri manakala hidup harus dihiasi dengan ujian, apalagi paradigma tersebut mengizinkan dan mempersilahkan otak berfikir bahwa yang dinamakan dengan ujian hanyalah sesuatu yang dapat menjadikan kaki berdarah, tulang memecah, hingga perut membuncah lapar. Inilah yang harus kita akui bersama tantang pandangan khalayak ramai dalam memandang suatu ujian. Padahalal ujian pun dapat berupa sesuatu yang dapat menjadikan kaki terangkat, tulang menguat dan perut membengkak kenyang. Ujian kesenangan.. ya itulah jenis ujian kedua yang datang dengan kebiasannya tanpa permisi memperkenalkan diri siapa sebenarnya “ia”, apa tujuan datangnya dan apa yang ingin ia buktikan? Dan kebanyakan dari kita lalai terhadapnya, kalau toh kita sadar itu adalah ujian, proporsi kesadaran itu tidak lah sebaik proporsi kesadaran ketika mendapatkan ujian kesukaran.

Suatu hari seekor monyet dewasa naik keatas pohon kelapa, sesaat hendak sampai kepuncak pohon, secara tiba-tiba dan membabi buta hingga sang monyet tak menyangka bahwa badai besar berupa angin kencang sudah akan siap menerpa. Sang Monyet tak kuasa lagi untuk turun menghindar, hanya berpegang dengan batang pohon kelapa saja yang bisa dilakukannya sambil memejamkan mata kuat-kuat bersiap menghadapi hembusan angin kencang yang semakin mendekatinya dengan perasaan penuh was-was dan takut serta waspada. Saat seketika angin tersebut menghantam si Monyet dalam keadaan merangkul batang pohon kelapa sekuat yang ia bisa, akhirnya dengan kekuatan yang ia punya ditambah pengalaman tertimpa angin kencang sudah menjadi sesuatu yang biasa, ia pun mampu menghadapinya tanpa harus terpental jatuh dari atas pohon kelapa yang dapat membahayakan jiwa yang sangat disayanginya. Namun kemudian ditengah kegirangan dan keberhasilannya telah mampu mengalahkan angin kencang yang menghempaskan apa saja disekelilingnya, tiba-tiba jenis angin kedua datang dengan perlahan, lembut, seolah sepoi-sepoi angin yang begitu menyejukkan dan menyenangkan, ketika diterpa angin yang sepoi-sepoi mata sang Monyet pun mulai timbul dan tenggelam, diatas pohon kelapa sambil merangkul batangnya, ia tak kuasa menghadapi hembusan angin mesra yang sangat melenakannya, akhirnya matanya tertutup karena asyik angin lembut nan bersahabat, seketika ia pun terjatuh dari atas pohon kelapa yang tinggi dalam posisi mata tertutup, bibir yang merekah, disertai senyum kecil dari wajahnya, ia terjatuh dan akhirnya mati meninggalkan kelapa muda impiannya, meninggalkan tujuannya, meninggalkan cita-citanya, meninggalkan semua monyet yang ia cintai.

Ku uji kau dengan topan, kaupun kuat

Ku uji kau dengan badai, kaupun tegar

Ku uji kau dengan pedang, kaupun berani

Ku uji kau dengan panas, kaupun sabar

Ku uji kau dengan cinta, kau pun lemah

Wahai pembaca budiman, mari kita tegaskan dalam hal ini bahwa terkadang setelah dipikirkan, direnungkan ujian kesenangan itu lebih berpotensi untuk menjatuhkan kita dari atas impian yang ingin kita raih, dari cita-cita sarjana bagi seorang mahasiswa, dari tujuan mencari kerja bagi seorang pengangguran, dari impian futuhat-futuhat dakwah bagi para du’at Ilallah, dan dari harapan masuk syurga bagi orang-orang beriman. Sebagai seorang manusia yang sadar, yang mayakini bahwa Allah adalah aktor disetiap, di segala episode kehidupan kita, dan kita meyakini hal itu, ternyata ada pesan penting yang ingin Allah sampaikan kepada kita lewat bahasa Nya yang terkadang tak mampu ditangkap dengan bahasa mata saja, bahasa dzohir saja, namun juga diperlukan bahasa qolbu dengan sedikit ketenangan dan ditambah penghayatan dengan bumbu pikiran yang mendahulukan husnudzon diatas apapun baik terhadap aktor dibalik peristiwa maupun aktor suruhan dalam bentuk perantara. Apapun kita, bagaimanapun kita, siapapun kita, kondisi kita saat ini adalah kondisi yang memerlukan ketabahan, kesabaran dan jangan lupa kesyukuran, susah dan senang kah kita, bahagia dan menderita kah kita, diatas dan di bawah kah kita, semua adalah lukisan alam yang Allah karuniakan untuk dibaca pesan-pesannya sehingga kita semakin memahami bahwa menjadi manusia seperti kita saat ini adalah karunia besar yang begitu mempesona bagaimanapun kondisi kita, sekali lagi bagaimanapun kondisi kita. Begitu banyak mereka yang kuat menghadapi kekurangan, namun lemah ketika dihadapkan kelebihan, begitu banyak pelaku dakwah yang kuat dan tegar dalam kekurangan pendukung, namun lemah azzamnya ketika dihadapkan dengan lebih dan banyaknya para pendukung dakwahnya. Misal dalam dakwah kampus, ketika program pembinaan keislamanan sudah menjadi kewajiban dari setiap mahasiswa muslim (baca: Mentoring), seolah pelaku dakwah tidak perlu lagi untuk mengoptimalkan potensi dan upaya untuk mencetak generasi muslim yang lebih baik lagi, karena mungkin anggapan sebahagian para pelaku dakwahnya “sudah ada Praktikum Agama Islam”. Sehingga ada perbedaan yang dapat ditangkap mengenai korelasi kuantitas dan kualitas generasi dakwah di era awal yang harus dengan susah payah, sulit dan berliku hanya untuk mengadakan pertemuan kajian keislamanan dengan generasi yang muncul dibelakang. Whatever, kita tetap bersyukur dengan apapun keondisi kita dan tidak serta merta menyalahkan upaya apalagi hingga mencela. Baik kurang ataupun kelebihan adalah baik bagi orang beriman, baik banyak atau sedikitnya adalah baik bagi orang beriman. Sungguh beruntung orang orang beriman, tatkala mendapatkan nikmat ia bersyukur dan itu baik baginya, dan ketika mendapatkan musibah ia bersabar dan itu baik baginya (Hadits).

Sebahagian dari masyarakat kita atau mungkin kita menghendaki kata ujian itu tidak pernah ada, andai kata ujian itu ada, dihilangkan saja supaya tidak selalu membuat celaka. Namun barangkali sekali lagi kita berfikir dan berfikir.

Mengapa ada benci

Supaya cinta semakin berisi

Mengapa ada sakit

Supaya sehat tidak dirasa pahit

Mengapa ada susah

Supaya senang tidak berteman resah

Mengapa ada perpisahan

Supaya pertemuan semakin berkesan

Mengapa ada jauh

Supaya dekat semakin tersentuh

Andai ujian tidak ada dalam setiap episode kehidupan kita, tidak ada lagi cinta yang berisi, tidak ada lagi sehat yang manis, tidak ada lagi senang yang terasa renyah, tidak ada lagi pertemuan yang berkesan, tidak ada lagi dekat yang semakin terasa menyentuh, yang terjadi kemudian adalah kegersangan dan kepura-puraan, tidak ada kejujuran pembuktian dari setiap lisan yang diucapkan, dari setiap hati yang membenarkan ataupun dari setiap amal yang dilakukan. Seorang murid Sekolah Menengah Pertama (SMP) tidaklah dikatakan Murid SMP bila tidak melewati ujian di Sekolah Dasar (SD) terlebih dahulu, bukan lah kita sekarang bila tidak mengalami serangkaian ujian sebelumnya, bahkan dalam rahim ibu kita sekalipun kita telah diuji dengan seni perlombaan untuk menjadi yang terbaik. Itulah mengapa para Nabi dan Rasul selalu diuji dengan serangkain skenario ujian-Nya supaya mereka memiliki kesiapan dan ketangguhan mengemban amanah yang tidak gampang, mereka ditempa dengan ujian dari yang kecil, sedang hingga yang berat sekalipun untuk membuktikan bahwa meraka termasuk orang-orang yang bersungguh-sungguh dan bersabar.

Pembaca budiman, mari bersama kita melangkah, menjalani sisa hidup kita dengan optimisme dan kesungguhan serta kesabaran, agar kuat kaki melangkah, agar tegar tekat dan menjadi tidak sia-sia amalnya. Ketahuilah, bahwa waktu ujian itu tidaklah lebih banyak dari masa belajar kita, bukanlah dikatakan sekolah yang baik andai waktu ujiannya lebih banyak dari waktu belajarnya. Maka, marilah terus belajar dan belajar agar suatu hari nanti kita mengerti bahwa Ujian adalah bukti cinta dari Aktor dibalik peristiwa, Allah SWT sang pemilik cinta dan yang kita cinta. Walau bagaimanapun, kita memerlukan ujian, bagaimanapun bentuknya ujian tersebut biarlah Dia yang Maha tahu keterbatasan kita yang menentukannya.

”Andai jalan ini adalah jalan yang berat, jangan meminta ringan, tapi mintalah punggung yang kuat untuk memikulnya”. Wallahualam bisshowaf.

Akhukum Fillah,

Farrosih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar