FIQIH IKHTILAF

Al-Ikhtilaf wa Adabuhu
(Ikhtilaf dan Adab-adabnya)

1. Makna Ikhtilaf

Secara etimologis, ikhtilaf berarti: tidak sama, tidak sepakat (Al-Mu’jam Al-Wasith: 1/251).
Dalam istilah ulama, ikhtilaf atau khilaf memiliki dua arti:
o Perlawanan, perpecahan, perdebatan dan benturan yang menimbulkan permusuhan dan kebencian. Ibnu Mas’ud ra berkata: “Khilaf itu buruk”.
o Perbedaan pendapat dan sudut pandang yang disebabkan oleh perbedaan tingkat kecerdasan dan informasi.(Ma’an ‘ala Thariq ad-Da’wah: 102).

2. Ikhtilaf yang Boleh dan Tidak boleh
o Ikhtilaf dalam Masalah Ushul: Tidak Boleh (Mamnu’un).
o Yang dimaksud masalah Ushul adalah hal-hal yang qath’i, jelas, dan disepakati oleh para ulama.
o Ikhtilaf dalam Masalah Furu’ : Boleh (Jaaizun).
o Masalah Furu’ adalah hal-hal yang zhanni (mengandung dugaan, multi interpretatif), tersembunyi, dan diperselisihkan oleh para ulama. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah: 6:57).
o Yang menjadi acuan penentu ushul dan furu’ adalah Ilmu Ushul Fiqih.

3. Diantara Faktor Penyebab Ikhtilaf dalam Furu’
o Perbedaan kemampuan akal para ulama dalam menyimpulkan ayat atau hadits yang multi interpretative
o Perbedaan informasi dan ilmu yang dimiliki para ulama
o Perbedaan lingkungan, situasi dan kondisi
o Perbedaan ketentraman hati dalam menilai suatu riwayat hadits.
o Perbedaan dalam menempatkan dalil yang harus didahulukan dari yang lain.
(Risalah Da’watuna – Majmu’ah Rasail Al-Banna)

4. Beberapa Prinsip Ikhtilaf
o Ikhtilaf dalam masalah furu’ pasti terjadi
o Ikhtilaf dalam masalah furu’ tidak memecah belah
o Aib itu pada ta’ashub bukan ikhtilaf
o Tidak ada paksaan dalam masalah ijtihad
o Ikhtilaf itu rahmat atau keluasan bagi mukallaf
o Yang menjadi patokan adalah esensi bukan istilah atau nama.
(Sumber: Ma’an ‘ala Thariq ad-Da’wah, Fiqhul I’tilaf)

5. Adab Ikhtilaf
1. Ikhlas dalam mencapai dan mencari kebenaran
2. Keinginan kuat untuk bersatu, berukhuwwah dan berjama’ah
3. Bersikap objektif & adil terhadap pihak yang berbeda
4. Berdiskusi di bawah naungan ukhuwah
5. Menjauhi ta’ashub
6. Tidak mengingkari ikhtilaf yang mu’tabar dan diperbolehkan
7. Meninggalkan yang mustahab demi menyatukan hati
8. Meninggalkan perkara yang tidak membuahkan amal

6. Diantara Tanda Ikhlas dalam Kebenaran

a. Menjadikan ucapan sebagai patokan bukan siapa yang mengucapkan (menerima kebenaran dari orang yang dicintai maupun dibenci)

Salah seorang rahib Yahudi berkata kepada Rasulullah saw:
“Kalian adalah ummat terbaik kalau kalian tidak berbuat syirik.”
Nabi bersabda: “Subhanallah, perbuatan apa?”
“Kalian mengatakan dalam sumpah: Demi Ka’bah.”
Rasulullah saw menerima teguran itu dan memerintahkan para sahabat untuk bersumpah demi Rabb Ka’bah. (Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin: 1/44)

b. Menginginkan kebenaran keluar dari mulut pihak lain yang berbeda pendapat

Hatim Al-Asham berkata: “Aku punya tiga hal untuk mengalahkan lawan bicaraku :
”aku senang jika ia benar, sedih jika ia salah, dan aku jaga diriku agar tidak menzaliminya.”
Imam Ahmad berkomentar tentangnya: “Subhanallah, sungguh beliau laki-laki yang amat berakal.” (Fatawa Ibnu Taimiyah: 20/304)

c. Siap meninggalkan pendapat sendiri dan kembali kepada kebenaran.

Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah) pernah berbeda pendapat dengan Imam Malik tentang sebuah masalah fiqih. Ketika Imam Malik mengutarakan riwayat mutawatir dari penduduk Madinah sebagai dalil pendapatnya, Abu Yusuf mengoreksi pendapatnya, sambil berkata:
“Jika guruku Abu Hanifah menyaksikan ini, pastilah ia mengoreksi pendapatnya juga.” (Fatawa Ibnu Taimiyah: 20/304)

d. Keinginan kuat untuk bersatu, berukhuwwah dan berjama’ah

Imam Ahmad mengatakan wajib berwudhu setelah berbekam.
Ketika beliau ditanya: “Kalau seorang imam tidak berwudhu setelah berbekam, apakah kita shalat di belakangnya?”
Jawab beliau: “Subhanallah! Apakah kita tidak mau menjadi ma’mum Sa’id bin Musayyib dan Imam Malik bin Anas?” (Ma’an ‘ala Thariq ad-Da’wah: 100)

Sultan Muhammad bin Malik Al-Manshur Qalawun pernah meminta fatwa kepada Ibnu Taimiyah untuk menghukum mati beberapa qadhi. Mereka telah berfatwa untuk menggulingkan Sultan, dan membai’at orang lain (Jasyankir), serta memprovokasi massa utk memusuhi Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah menolak pembunuhan itu, dan meminta Sultan membebaskan mereka, padahal mereka telah menzalimi Ibnu Taimiyah akibat perbedaan pendapat sengit dalam masalah cabang aqidah. Bahkan beliau malah menghormati mereka.

Ibnu Taimiyah: “Jika engkau bunuh mereka, tak akan engkau dptkan ulama seperti mereka lagi.”
Sultan: “Mereka telah menyakitimu & mencoba membunuhmu.”
Ibnu Taimiyah: “Siapa yang telah menyakitiku aku telah memaafkannya, aku tidak ingin menang untuk diriku sendiri.”
Ibnu Makhluf, salah satu qadhi berkata: “Belum pernah kami menemui orang seperti Ibnu Taimiyah, kami coba menyakitinya tapi kami tidak mampu. Sedang ia dapat membalas kami, tapi ia memaafkan bahkan membela kami.” (Al-Bidayah Wan-nihayah: 14/56)

e. Bersikap objektif & adil terhadap pihak yang berbeda

“Berlakulah adil dan benar dalam menghukum dalam segala hal. Kemarahanmu (kepada orang lain) jangan membuatmu melupakan kebaikannya, dan rasa sukamu kepada seseorang jangan menutup matamu dari keburukannya. Permusuhan jangan membawamu melupakan kebaikan. Katakan yang haq meskipun pahit atas dirimu atau orang terdekat bagimu sekalipun”

Abdur Razzaq bin Hammam, penyusun hadits Rasulullah saw, pernah berkomentar buruk terhadap Umar bin Khattab yang dianggapnya kurang sopan terhadap Rasulullah saw.
Imam Dzahabi mengkritik Abd Razzaq:
“Ini adalah suatu yang besar, jika engkau (wahai Abd Razzaq) diam, tentu itu lebih baik. Umar lebih tahu adab terhadap Rasulullah saw… Meskipun demikian, kita mohon ampun kepada Allah untuk kita dan Abd Razzaq, beliau orang yang terpercaya dan jujur dalam meriwayatkan hadits Rasulullah saw.”( Fiqhul I’tilaf)

f. Dialog di bawah naungan ukhuwah

Dan khilaf fiqih dalam masalah cabang bukan penyebab perpecahan dalam agama, permusuhan dan kebencian. Setiap mujtahid mendapat pahala. Dan tidak mengapa jika dilakukan kajian dan diskusi ilmiah dalam masalah khilaf dalam naungan cinta karena Allah dan saling membantu untuk mencapai hakikat kebenaran tanpa mengakibatkan perdebatan tercela dan fanatisme. (Prinsip ke-8 dari 20 prinsip Ikhwan) (Rukun Al-Fahm – Risalah Ta’alim)

“Dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik” (16/125)

“Aku menjamin rumah di sekitar surga bagi siapa yang meninggalkan debat kusir meskipun ia berada di pihak yang benar” (HR. Abu Dawud)

Ibnu Abbas ra berbeda pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentang ‘apakah saudara mendapat warisan jika ada kakek?’ Ibnu Abbas berpendapat ‘ya’ sedangkan Zaid ‘tidak’. Ketika Ibnu Abbas ra melihat Zaid ra menunggang kudanya, ia segera berjalan menuntun kuda Zaid ra sambil berkata: “Beginilah kita diperintahkan menghormati ulama.” Zaid ra berkata: “Kemarikan tanganmu!” Lalu diciumnya tangan Ibnu Abbas ra sambil berkata: “Beginilah kita diperintahkan terhadap ahli bait (keluarga) Nabi kita.” (Ma’an ‘ala Thariq ad-Da’wah: 99)

g. Meninggalkan Tashsub

“Setiap orang dapat diambil ucapannya dan ditinggalkan kecuali Rasulullah saw yang ma’shum. Kita menerima semua yang berasal dari salaf ra dan sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, jika tidak sesuai maka Al-Quran dan Sunnah lah yang harus diikuti, tetapi kita tidak akan menodai kehormatan seseorang diantara mereka dengan tuduhan atau celaan karena perbedaan pendapat di antara mereka, kita serahkan mereka kepada niat mereka masing-masing, dan mereka sudah mendapatkan balasan apa yang telah mereka lakukan.”
(Prinsip ke-6 dari 20 prinsip Ikhwan – Rukun Al-Fahm Risalah Ta’alim)

“Jika guruku Abu Hanifah menyaksikan ini, pastilah ia mengoreksi pendapatnya juga.” (Abu Yusuf)
“Saya pribadi telah berijtihad dalam berbagai hal tanpa mengikuti sepenuhnya pendapat Imam Al-Banna. Dan saya yakin beliau akan rela dengan sikap saya itu, karena beliau amat senang melihat pengikutnya berpikir merdeka dan sungguh-sungguh, tidak menjadi tawanan atau hamba yang selalu terbelenggu taqlid.”
(Yusuf Al-Qaradhawi: Al-Ikhwan Al-Muslimun: 246)

h. Tidak mengingkari ikhtilaf yang mu’tabar dan diperbolehkan

“Sesungguhnya masalah ijtihadiyyah seperti ini tidak boleh diingkari dengan tangan, siapapun tidak boleh memaksa orang lain mengikuti pendapatnya. Yang bisa dilakukan adalah berbicara dengan argumentasi ilmiah. Siapa yang telah jelas baginya kebenaran suatu pendapat maka dia dapat mengikutinya, dan siapa yang taqlid kepada pendapat lain maka ia tidak boleh diingkari.”
(Ibnu Taimiyah mengutip pendapat ulama madzhab Syafi’i). (Majmu’ Fatawa: 7:250)

i. Meninggalkan yang sunnah untuk mengedepankan kesatuan hati (yang wajib)

Imam Syafi’i berpendapat bahwa qunut subuh itu sunnah, sedangkan Imam Abu Hanifah tidak berpendapat demikian. Ketika Imam Syafi’i pergi ke Kufah, dan menjadi imam shalat subuh, beliau tidak qunut demi menghormati penduduk Kufah yang bermadzhab Hanafi.
(Ma’an ‘ala Thariq ad-Da’wah: 100)

j.Tidak menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak bernilai amal (Meninggalkan perkara yang tidak membuahkan amal)

“Semua masalah yang tidak terbangun di atasnya amal, maka menggelutinya terlalu dalam adalah perbuatan berlebihan yang dilarang oleh syariat…”
(Prinsip ke-9 dari 20 Prinsip Ikhwan – Rukun Al-Fahm Risalah ta’alim)
o Ketika Rasulullah saw ditanya tentang kapan hari kiamat, beliau berkata: “Apa yang telah engkau siapkan untuk menghadapinya?”
o Umar ra mengingkari dan menghukum Shabigh karena banyak bertanya tentang sesuatu yang tidak bermanfaat secara amaliah.
o Ali ra mengingkari Ibnul Kuwa yang banyak bertanya tentang hal yang tidak bermanfaat.
o Begitu juga Imam Malik membenci ucapan yang tidak membuahkan amal.
(Nazharat Fi Risalah Ta’alim: 94-95 )

Suatu hari aku berjalan pada sebuah taman bunga
Kulihat begitu indah beraneka warna yang ada disana
Ada merah, putih, biru, kuning, hijau, ungu, hitam, dll
Saling melengkapi satu sama lain
Tidak menganggap warnanya paling indah diantara warna yang lain
Sejenak kemudian kubayangkan
Andai di taman ini hanya ada satu warna, biru misal
Sungguh hilanglah keindahan taman tersebut
Aku bersyukur tamanku penuh warna
Yang saling melengkapi satu sama lain
Wallahu’alam bis showaf

Farrosih
Dari berbagai sumber

2 komentar:

  1. Assalamu 'alaikum

    wah ana suka tulisan antum akhi..

    terutama tentang Al ikhtilaf wa adabuhu. Kemarin barusan dapat materi tatsqif dari ust. Muslim gunawan

    Jazakallah
    PANIRIN
    balikpapan

    BalasHapus
  2. Tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan baik disengaja ataupun tidak karena memang sifat alamiah manusia itu pada dasarnya penuh kekurangan sehingga tidak menutup kemungkinan melakukan kekeliruan. Rasullah Musa saja pernah, dan tertera dalam surah / surat : Asy-Syu'araa Ayat : 22

    Al-khilaf (perselisihan pendapat) di antara manusia adalah perkara yang sangat mungkin terjadi. Yang demikian karena kemampuan, pemahaman, wawasan dan keinginan mereka berbeda-beda. Namun perselisihan masih dalam batas wajar manakala muncul karena sebab yang masuk akal, yang bukan bersumber dari hawa nafsu atau fanatik buta dengan sebuah pendapat.
    (Kata pengantar Dr. Mani’ bin Hammad Al-Juhani terhadap kitab Adabul Khilaf hal. 5)

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar