GOLPUT WAJIB

Fatwa MUI
Tentang: tidak menggunakan hak pilih (golput) dalam pemilihan umum

Dalam ijtima’ ulama komisi fatwa se indonesia ke-iii mengambil tema yang salah satunya adalah masail asasiyyah wathaniyyah (masalah strategis kebangsaan), yang dalam pembahasan didalamnya memunculkan pembahasan yang menjadi masalah dan kebingungan di tengah-tengah masyarakat terkait pemilu di indonesia saat ini, yakni masalah tidak memilih atau golput. Namun, para ulama yang membahas permasalahan tersebut tidak menggunakan istilah golput, karena golput maknanya multitafsir, seolah orang yang tidak memberikan pilihannya (padahal ada calon pemimpin yang layak) adalah orang yang bersih, karena makna golput bisa diartikan golongan putih, putih artinya suci dan bersih, maka, majelis ulama indonesia tidak menggunakan istilah golput, tapi lebih menggunakan istilah tidak memilih. Isi fatwa majelis ulama indonesia dalam hasil ijtima’ ulama komisi fatwa se indonesia ke-iii pada tanggal 24-26 januari 2009 di padang panjang, sumatera adalah sebagai berikut:

1. Pemilihan umum dalam pandangan islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
2. Memilih pemimpin dalam islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.
3. Imamah dan imarah dalam islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
4. Yakni: memilih pemimpin yang beriman dan bertaqwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah) dan memperjuangkan kepentingan ummat islam hukumnya adalah wajib.
5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu), atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Rekomendasi
1. Umat islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar
2. Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi.

Dasar penetapan
1. Al qur’an surah an nisa: 59
2. Hadits-hadits nabi
3. Pernyataan abu bakar r.a ketika pidato pertama setelah ditetapkan sebagai khalifah
4. Pernyataan umar dalam pidatonya ketika dikukuhkan sebagai khalifah
5. Kaedah fiqhiyyah, diantaranya adalah:
a. “pada dasarnya segala sesuatu itu adalah boleh, sampai ada dalil yang mengharamkannya"
b. “tidak diingkari adanya perubahan hukum sebab adanya perubahan waktu dan tempat”
6. Kaedah ushuliyah, diantaranya seperti:
a. “apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksankan secara sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu yang lain tersebut hukumnya juga wajib”
b. “sesuatu yang tidak didapatkan semua (sesuai dengan idealisme dan kehendak kita), seyogyanya tidak ditinggalkan semuanya.
7. Pasal 28 d (3) uud ri tahun 1945
8. Konsideran UU nomor 10 tahun 2008
9. UU no. 10 tahun 2008 pasal 19 ayat 1

Pimpinan komisi A
Ketua : KH. Ma’ruf amin
Wakil ketua : Masyhuri na’im
Sekretaris : Sholahudin al aiyubi


***

Itulah sebahagian dari hasil-hasil fatwa mui dalam memandang persoalan umat. Terkadang yang terjadi kemudian adalah kesalah kaprahan akan pemahaman fatwa oleh sebagian besar masyarakat yang lebih disebabkan opini media yang salah baik media elektronik maupun media masa yang sangat gencar menyatakan bahwa MUI memfatwakan golput haram sehingga menjadikan masyarakat tidak mendapatkan hasil fatwa yang sempurna sebagaimana tertulis. Padahal kalau difahami dan disimak dengan seksama isi dari pada fatwa tersebut diatas, kita akan mendapatkan pemahaman bahwa:

Memilih calon pemimpin (termasuk caleg) yang memiliki kriteria beriman dan bertaqwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah) dan memperjuangkan kepentingan ummat islam. Memilihnya hukumnya adalah wajib. Dalam keadaan seperti ini tidak memilih hukumnya haram.

Sementara memilih calon pemimpin (termasuk caleg) yang tidak memiliki syarat diatas, memilihnya hukumnya adalah haram. Dalam keadaan seperti ini tidak memilih hukumnya wajib.

Intinya adalah dalam memilih calon pemimpin kita harus berhati-hati dan selektif, sandaran dan patokan dalam memilih kita serahkan kepada Allah dan Rasul-Nya yang dalam persoalan yang kita bahas saat ini kita mempercayakan kepada orang-orang yang memang benar-benar faham akan hukum dalam Islam (baca: Ulama), memilih haruslah melihat syarat-syaratnya, karena bukan haram tidak haramnya yang menjadi soal, akan tetapi lebih kepada syarat-syarat menjadi pemimpinlah yang harus dijadikan fokus perhataian. Bukan hanya karena si ’dia’ adalah keluarga kita, lalu kita memilihnya, bukan hanya karena si ’dia’ atasan kita, lalu kita mencontreng dia, padahal sangat tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin.

Mari kita jabarkan perihal syarat-syarat yang dikemukkan diatas
1. Beriman dan bertaqwa
Memilih pemimpin dalam alqur’an hukumnya wajib. Bukan sembarang pemimpin, akan tetapi pemimpin yang memiliki keimanan yang baik kepada Allah, percaya akan kekuasaan Allah, percaya kepada para malaikat Allah yang selalu taat kepada-nya, percaya akan kitab-kitab yang ditunkan kepada para nabi, percaya kepada rasul-rasul nya, percaya akan hari akhir dan percaya kepada takdir yang baik dan buruk yang ditetapkan oleh Allah swt. Keimanan seperti ini bukanlah sebatas pada leef service saja, hanya sampai mulutnya saja namun juga harus menghujam dibenarkan dalam hati, yang kemudian diaplikasikan dalam amal perbuatan. Bertaqwa tidaklah bisa dilepaskan dari keimanan, taqwa dalam hal ini menjalankan segala apa-apa yang diperintahkan oleh Allah swt dan meninggalkan segala larangan-nya. Baik kini dan akan datang. Apakah ada sekarang ini pemimpin yang sangat takut kepada Allah?, apakah ada saat ini pemimpin yang khusuk dalam ibadah-ibdah sholatnya?... Pemimpin yang diharapkan oleh islam kedepan adalah pemimpin yang begitu tinggi dan mumpuninya keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah swt, sehingga urusannya selalu didasarkan kepada keimanan dan ketaqwaan di setiap apapun aktifitasnya, baik ketika di rumah, di kantor, di jalanan, dimasyarakat, dsb.

2. Jujur (siddiq), jujur adalah salah satu sifat dari rasulullah saw, mendapatkan pemimpin yang jujur saat ini bagai mencari jarum dalam jerami, sangat sedikit dan terbatas. Perlu ketelitian yang sangat dalam mengklasifikasikan calon pemimpin yang akan kita pilih. Begitu banyak calon pemimpin yang hanya menyajikan janji-janji semata dihadapan masyarakat, ketika ia terpilih dengan begitu mudahnya ia melupakan janji-janji yang telah dibuatnya. Kong kalikong diantara sesamanya, memanipulasi data anggaran yang sebenarnya diperuntukkan untuk kepentingan orang banyak, sampai pada kebohongan yang dilakukan secara jamaah (bersama-sama) dan terkoordinir dengan sistematis dan terencana yang pada akhirnya hanya ingin mencari keuntungan pribadi semata.

3. Terpercaya (amanah), bisa dipercaya dan bisa diandalkan mampu memperbaiki kondisi masyarakat ditengah penyakit dan kebimbangannya, selalu menjalankan tugas dengan tekun, profesional dan penuh tanggung jawab. Pemimpin yang meyakini bahwa menjadi pemimpin bukan saja amanah yang diberikan oleh rakyat untuknya, namun juga lebih kepada amanah yang dititipkan Allah kepadanya, sehingga pertanggungjawaban yang difahaminya bukan saja LPJ atau laporan Pertanggung Jawaban dihadapan manusia, namun juga ia mempersiapkan LPJ dihadapan Allah SWT dalam sidang Nya yang tidak pernah luput dan terlewat walau hanya sebesar biji zarrah sekalipun bahkan yang lebih kecil dari itu semua.

4. Aktif dan aspiratif (Tabligh), cerita dari beberapa sumber, ada pemimpin yang telah dipilih oleh rakyat yang diharapkan mampu berbicara dan berbuat banyak hanya diam dan tidak pernah berbicara selama 1 tahun masa tugas, lalu apa yang ia lakukan?, mungkin istilah D5 yang dilakukan, Datang, Duduk, Diam, Dahar (makan), datang ke komisi bagi Duit. Kalau mau diporsentasekan (meski tidak ada data yang pasti) jumlah masyarakat yang menghendaki tidak adanya tempat-tempat maksiyat seperti Tempat Prostitusi, Bar-bar, diskotik, warung remang-remang, tempat hiburan berkedok karoke dan panti pijet, perjudian yang dilegalkan, lebih banyak dari pada yang menghendaki adanya tempat-tempat maksiyat tersebut. Lalu apa yang dilakukan oleh pemimpin kita? Apakah mereka aspiratif? Vokal enyampaikan dan berjuang dengan sekuat tenaga (fight) memperjuangkan aspirasi masyarakat karena jelas warna dihadapan, karena terang mana boleh mana haram, karena terpampang mana air mana kotoran.

5. Mempunyai kemampuan (fathonah), sholeh saja tidak cukup tanpa ada kemampuan yang mumpuni dalam menjalankan amanah yang diembannya, kemampuan yang mampu menjadikannya mampu menjadikan masyarakat yang kurang dan tidak mampu menjadi mampu dan sejahtera dalam kehidupannya. Sehingga masyarakat tidak menyesal menjatuhkan pilihan padanya. Memahami spesialisasi bidang yang digarapnya, cerdas, profesional dan memiliki ide-ide yang briliant dalam menyelesaikan persoalan masyarakat.

6. Memperjuangkan kepentingan umat Islam. Kepentingan umat Islam tidak akan pernah mendiskreditkan umat/agama lain. Sikap toleransi yang telah dibangun umat Islam sampai dengan sekarang di Indonesia dengan mempersilahkan umat lain beribadah sesuai dengan kepercayaannya, duduk bersama dalam forum-forum diskusi menjadi bukti bahwa umat Islam akan selalu duduk bareng bersama umat lain dalam menyelesaikan persoalan masyarakat dalam lingkup NKRI. Hanya saja, dalam Islam memilih pemimpin adalah kewajiban dan pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang mampu memperjuangkan kepentingan umat Islam, bukan seolah memperjuangkan kepentingan umat Islam namun pada kenyataannya justru hanya menjadikannya alat mencari keuntungan pribadi.

Dari 6 (enam) syarat diatas, tentulah kita akan sangat memahami siapa yang akan kita pilih kedepan. Tulisan diatas mengacu pada fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam ijtima komisi fatwanya. Kalau bukan kepada Ulama kita percayakan urusan agama ini, lalu kepada siapa lagi kita akan percaya?. Apakah hanya akan percaya kepada media? Atau keluarga saja tanpa memandang dengan jujur syarat-syarat menjdi pemimpin yang diharapkan oleh agama ini. Yang perlu menjadi catatan tambahan adalah bahwa tidak cukup memilih pribadi yang sholeh sendiri saja namun secara organisasi yang mewadahinya justru sebaliknya, karena peran organisasi yang mewadahinya sangat mempengaruhi proses kepemimpinannya. Baik perorangannya ataupun wadah organisasi yang menaunginya adalah suatu tim yang memiliki syarat-syarat diatas, kalau hanya perorangan namun organisasi (baca: partai) yang menaunginya tidak baik secara agama, maka akan terjadi ketimpangan manakala dikhawatirkan ketika berbuat pelanggaran, organisasi yang menaunginya tidak mampu berbuat tegas sesuai dengan landasan asas organisasi yang berlandaskan kepada Islam. Maka selain orangnya, juga harus melihat yang mewadahinya karena tentu wadah yang baik akan memberikan amanah kepada orang yang baik pula. Sehingga dengan begitu orang-orang yang berkualitaslah dengan wadah yang berkualitas pula yang akan memimpin kita menuju kebaikan demi kebaikan yang kita harapkan sehingga mereka mampu mengahantarkan kita semua menuju syurga-Nya. Kalau orang yang seperti ini yang memimpin kita insyaAllah hidup dan kehidupan kita akan semakin terasa hidup dan menghidupi, karena mereka Pantang Korupsi dan Sogokan, Peduli Kita Semua, dengan syarat diatas Pasti Keluarganya Sakinah, Penuh Kasih Sayang, meski Para Koruptor Sebel, karena pemimpin yang seperti itu adalah Pemimpin Kita Semua.

Farrosih
Sumber: Hasil-Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se Indonesia

3 komentar:

  1. Hmm, Mas, selain orangnya yang dinilai, kebijakan dan aturan yang nantinya akan diterapkan juga harus dinilai. Mau pake aturan yang bersumber dari Quran dan Sunah, ato masih aturan sekuler liberal yang tidak diberkahi Allah ini. Kalo tidak, sungguh naif mereka haramkan golput dengan dalih agama:

    Top 10 Alasan Sesat Wajibnya Pemilu

    BalasHapus
  2. Saya sih.. orang yang masih belajar
    belajar untuk percaya kepada Ulama
    apalagi saya sering berinteraksi dengan mereka
    trimakasih atas kritiknya...
    baru kali ini saya temukan orang yang me "naif" kan Ulama. Farrosih

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar