Fase pembuktian

" Dan diantara mereka ada yang berkata: Izinkanlah aku (tinggal), dan janganlah engkau fitnahi aku… " (Pangkal ayat QS. Ataubah: 49)

Ladang itu bernama Tabuk, Bulan Rajab tahun kesembilan tepatnya diantara Madinah dan Damaskus, disanalah berbilang pembuktian di sodorkan oleh mereka yang benar janjinya ataupun diantara mereka yang tidak benar janjinya. disanalah fase pembuktian itu digelar, membuka tabir yang selama ini sulit terlacak, gelap tak berjejak. saat Yaumul 'Usrah dibentang dihadapan jiwa, musim panas, belanja kurang, saat masa dimana buah sedang ranum siap dipetik, musim memetik buah adalah musim yang dinanti sepanjang tahun masa menanam, ditengah hasutan para munafikun, bergabungnya kabilah kabilah Arab, kabilah lakham dan juzam yang telah memeluk agama Nasrani kedalam barisan tentara Heraclius, raja bangsa Rum yang telah mempersiapkan 40.000 tentara Rum untuk memperlemah dan menhancurkan kekuatan umat Islam yang berpusat di Madinah. Sementara kaum muslimin harus menjemput dan menghadapinya diluar Madinah. Perjalanan ke Tabuk itu memanglah akan menempuh kesulitan, dari Madinah ke Tabuk 11 Marhalah atau 610 kilometer. apatah lagi musim panas, mereka baru saja pulang dari penaklukan Makkah, pertempuran Hunain dan pengepungan Thaif. Mereka hendak beristirahat dulu dan memetik kurma yang sedang musimnya untuk memetik. Saat seperti itu Rasulullah menyerukan nafir peperangan untuk menghadapi pasukan tentara Rum dengan segala kekuatan dan kelengkapan pasukan militernya, pasukan harus menjemput bola, jangan biarkan pasukan Rum itu sampai lebih dulu ke Kota Madinah.

Disinilah saat saat penting membiarkan alam menilai manusianya, memberikan kabar kebenarannya, membuktikan lewat episode ketakutan yang menghantui jiwa manusia. Diantara mereka ada yang tegar laksana batu karang diterjang gelombang berhari dan bertahun tahun lamanya, pun ada diantara mereka selaksa Abdullah bin Ubay, Kaab bin Malik ataupun Abu khaitsumah ataupun mereka yang lebih memberatkan badannya kebumi. namun pula semangat ibnu ummi makhtum yang buta menjadi hasil pembuktian episode kepahlawanan itu. Semua itu berbanding lurus dengan tingkat keimanannya masing masing dan saat kegalauan dan ketakutan itulah saat yang tepat membuktikannya.

Diantara itu semua, ada seorang diantara mereka yang bernama Jidd bin Qais. Dia meminta izin untuk tidak pergi ke Tabuk, namun alasan yang dikemukan "lain dari pada yang lain", ia mengatakan pada Rasulullah bahwa alasan meminta izinnya dikarenakan dia tidak akan tahan terkena fitnah kecantikan perempuan perempuan bangsa Rum. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kulit orang Rum ialah Ashfar, yaitu arti asalnya dalam bahasa arab ialah kuning, dan dalam loghat Melayu Indonesia disebut "Orang Kulit Putih". Di semenanjung Tanah Melayu bangsa barat itu disebut "Orang Kulit Putih". Perempuan-perempuan Rum itupun berkulit demikian dalam hal ini berarti mereka cantik-cantik. Adalah kebiasaan bangsa Rum pabila bertempur selalu membawa perempuan-perempuan mereka kedalam lahan pertempuran. dan itu yang menjadi kekhawatiran seorang Jidd bin Qais untuk meminta izin tidak ikut bererang terkalahkan oleh perasaan akan terjerumus kedalam "fitnah kecantikan".

" Dan diantara mereka ada yang berkata: Izinkanlah aku (tinggal), dan janganlah engkau fitnahi aku "

Maka bersabdalah lanjutan ayat: " Ketahuilah, bahwa kedalam fitnah itulah mereka telah terjatuh", artinya, kalau mereka mengatakan bahwa melihat kecantikan perempuan Rum kelak ketika berhadapan dengan orang Rum, mereka katakan satu fitnah, maka ketahuilah bahwa sebelum bertemu dengan fitnah melihat wajah perempuan Rum yang belum terjadi itu, mereka telah tenggelam terlebih dahulu kedalam fitnah, yaitu fitnah kelemahan hati, fitnah mencari-cari dalih, sedang fitnah perempuan didalam perang bukanlah fitnah sebab perang dalam Islam memiliki aturan yang jelas. Setidaknya begitu yang di sampaikan Buya Hamka dalam tafsirnya.
Allah mengirimkan kabar langsung dalam kitab yang sempurna itu tentang Jidd bin Qais, membuka rahasia tabir kegelapan yang bersandar pada perasaan disudut sunyi hatinya. Kalau demikian lalu bagaimana dengan Rasul dan Sahabat yang lain? bukankah mereka akan mengahadapi perempuan perempuan itu juga. Allahu Latief, Allah yang paling mengetahui bahaya yang lebih bahaya dari fitnah itu, yakni hatinya yang ragu atau pengecut.

Menganalisa serangkaian pemandangan silam yang tertuang dalam tintah sejarah peradaban kegemilangan Islam menjadikan aliran darah mengalir deras membersamai masa kini yang jauh lebih mudah dan berbeban ringan. Alangkah naifnya bila kita membandingkan jenuh lelah perjuangan ini kedalam fase dimana Rasul membuktikannya kala itu, hanya tidaklah seberat pejuang Palestina, tidaklah setumpuk darah afghanistan, tidaklah berbilang nyawa di Irak, hanya waktu dan peluh yang tak seberapa, lalu kau mundur kebelakang, mensejarahi Jidd bin Qais yang menutupnya dengan alasan. Sahabat, kalaulah bukan karena Allah tidaklah mungkin kita "disini", menghias hidup dengan nilai Rabbani yang mengajarkan kita saling berempati kepada ummat ini, belajar menangis dalam ketertawaan malam, dihiasi sinar kelemahan kaki melangkah. Sahabat, tepis semua keraguan, jangan lagi ada bimbang, kita sudah berada dijalan yang benar, meski jalan-jalan yang lain memanggil dalam indah mempesonanya kenangan. Jangan ada lagi kelemahan keinginan itu untuk terus masuk merangsek dalam medan pertempuran baru di dunia kini, berlatih adalah kemestian, lubang berkedalaman panjang selalu akan ada dihadapan, meskipun begitu tetaplah berada bersama jamaah ini, bersama membersamai dakwah yang semakin dinamis ini, kalaulah ada kesalahan siapapun kita, termasuk qiyadah adalah mungkin sebagai insan yang tak luput dari kesalahan, kalaulah medannya kini harus di siyasi, maka bersabarlah karena itu lebih baik daripada mundur kebelakang, memang inilah fase kita kini, disini kita membuktikan bahwa tarbiyah mampu menjadikan kita orang-orang yang biasa dengan keinginan luar biasa membangun bangunan kebaikan dalam apapun marhalahnya kini. Sahabat, bersabar dan kuatkan kesabaran, tinggikan cita cita membumbung tinggi higga mereka tak lagi berkata "kau pecundang".

Farrosih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar